Surat Perjalanan, Perjalanan Surat



Fiuh, akhirnya kami punya paspor juga. Setelah melewati perjuangan panjang, lama dan melelahkan (hipos!), akhirnya 3 buku kecil bersampul hijau bergambar burung itu ada di tangan kami.


Pertamanya, kami mau ngurus paspor lewat calo (bahasa halusnya: biro jasa), karena ngeri sama prosedur yg berbelit dan petugas yang tdk ramah (bayangan kami waktu itu yang terbukti benar). Aku nelpon Mr.G, a well known calo in Malang. Dia bilang harga paspor Rp 450 ribu each. "Syarat-syaratnya KTP, KK, Surat Nikah, Ijazah, Akte Lahir, SBKRI, Surat Ganti Nama." Aku bilang aku orang Jawa. "Oh, kalau Indonesia Asli ndak perlu SBKRI." Hem... emangnya ada orang Indonesia palsu?


Trus aku konfirm ke temenku yg barusan ngurus paspor buat umroh. Dia malah kena Rp 750 ribu each. Hah? Berarti 450 udah murah dong. Tapi, masih kata teman saya, kalau ngurus sendiri malah cuma 300 ribuan. Oh, ya udah kalau gitu aku mau nyoba ngurus sendiri.


Dengan gagah berani aku ke kantor imigrasi. Dengan pede aku masuk kantor yang udah ramai dengan orang-orang yang ngurus ini-itu. Aku cari-cari loket pendaftaran atau semacam itu lah. Lha kok enggak ada. Ada loket informasi, tapi tutup (aku pikir emang enggak pernah dibuka). Aku berusaha tanya ke salah satu petugas - a grumpy man.


"Permisi, Pak. Saya mau ngurus paspor..." Tanpa menoleh, si bapak yang tampak sibuk sekali itu bilang, "Nanti dulu ya." Dia melanjutkan pekerjaannya dan tidak pernah bisa ditanyai lagi. Akhirnya aku tanya ke Mbak-mbak TKI. "Oh, beli formulir dulu Mbak di koperasi, baru diisi seperti contoh itu tuh. Baru diserahin ke loket 3."


Aku beli formulir dan materai, Rp 15 ribu. Aku isi sesuai contoh. Eh, pas mau kutaruh ke loket, loketnya udah tutup. Gggrrrhhhh!


Aku datang lagi esoknya, berkas udah kubawa lengkap. Menunggu setengah jam di depan loket 3. Ketika dipanggil, ternyata aku harus menyertakan berkas dari universitas Nino, kalau aku mo ke LN menyertai suami sekolah. Petugas di loket dua ini, Mr. Totok, tidak se-grumpy petugas di loket sebelah yang tidak bisa ditanyai. Tapi dia juga tidak ramah. Ah, gpp gak ramah, asal gak grumpy.


Biar lebih gampang, kami mau ngurus paspor bareng aja. Setelah dapat surat sakti dari univ, Nino ambil cuti khusus. Hari Rabu, kami kembali ke loket 3. Untung semua berkas udah beres, termasuk berkas Nindi. Kami tinggal nunggu seminggu kemudian untuk foto (yaelah, harus seminggu lagi). "Anaknya dibawa ya," kata Mr. Totok.


Waduh, aku sempat deg-degan juga kalau Nindi ngambeg gak mau difoto. Soalnya udah pernah kejadian, pas dia mau bikin pasfoto, langsung nangis begitu fotografernya siap. Padahal kalau difoto Mamanya, dia langsung gaya-gaya. Setiap hari, aku membujuk dan memuji Nindi biar dia mau difoto di imigrasi. "Ntar Mama belikan permen cup-a-cup kalau Nindi berani difoto." Hehehe, cari sogokan yang murah.


Selasa kemarin, kami datang lagi, bersama Nindi untuk bikin foto biometrik yang alatnya bikin senewen petugas. Dari jadwal jam 8, kami baru difoto jam 12. Untung petugas verifikasi (Mr. Heykel) dan petugas fotonya lumayan ramah. Untung juga Nindi enggak rewel, cuman minta bakso, minta jajan permen, sama minta maen2 lompat2an sama aku di depan loket 6. Gpp dilihatin semua orang asal Nindi enggak nangis.


Begitulah, hari Kamis, aku ngambil paspornya (mesti nunggu 1 jam). Ribet banget yah bikin paspornya? Untung deh udah lewat. Dan kami hanya keluar uang Rp 780 untuk 3 paspor. Hasilnya bisa dilihat di bawah ini.


A.K. (lega)


Note:


1. pas foto, nino pakai jas lengkap sama dasi, tapi enggak kelihatan di foto, hiks, nyesel dia.


2. nindi melatih posenya beberapa hari sebelum foto


3. mala was beautiful, 3 hours before taking the picture

Comments

Nadiah Alwi said…
koq gak ada yang tersenyum fotonya?
:D
doddy waris said…
Iyah..kok ngga ada yang senyum.
Please dech, smile napa!
=D

Popular posts from this blog

Lakemba Library

Kiriman Tak Sampai

Harness

Be Careful What You Wish For

Score!

Barbie this arvo?

SISTEM ZONASI SEKOLAH DI JERMAN: Pengalaman Lil A Masuk Gymnasium

Boxing Day

Satu, Dua, atau Tiga Kecupan?

Dewi Lestari dan Saya