Mengintip Sekolah Anindya
Hari ini ada open house di sekolah Anindya (7 tahun), berikut pameran karya seni dan parents brunch.
Acara open house semacam ini memberi kesempatan pada orang tua murid untuk melihat kegiatan belajar mengajar di kelas. Tentu saja kesempatan seperti ini tidak kami lewatkan. Sebelum mengintip ruang kelas, kami melihat-lihat pameran karya seni murid-murid Hampden Park Public School (HPPS). Setiap siswa menampilkan satu karya mereka, entah itu lukisan, kolase, sketsa, gambar atau karya seni rupa yang lain. Tiap kelas mempunyai tema tersendiri. Tema kelas Anindya adalah membuat lukisan vas bunga.
Hasil kreativitas anak-anak usia SD ini sungguh mengagumkan. Mereka tidak takut untuk mengeluarkan ide mereka dalam bentuk karya. Beberapa kelas mengambil tema Picasso. Dari tema Picasso saya menjumpai karya sketsa dan kolase yang unik. Mungkin tema Picasso ini cocok untuk anak-anak karena mereka tidak terintimidasi untuk membuat lukisan atau karya yang "indah" dan "sempurna".
Saya jadi ingat zaman SD dulu. Saat pelajaran seni, kami semua menggambar dua gunung berapi dengan matahari di tengah dan persawahan di bawahnya. Saya takut untuk menggambar yang lain karena gambar gunung kembar itulah yang dicontohkan oleh guru. Saya juga takut kalau gambar saya nanti jelek dan tidak seperti aslinya. Tapi mungkin anak SD zaman sekarang di Indonesia sudah lebih ekspresif dan berani. Gambar-gambar Anindya ketika sekolah di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya dulu juga tidak melulu pemandangan dengan latar belakang gunung.
Para pengunjung pameran diperbolehkan membeli karya seni anak-anak seharga $ 1. Tentu saja kami membeli karya anak kami sendiri, hehehe. Menurut saya pameran seperti ini adalah ide yang bagus. Disamping meningkatkan rasa percaya diri untuk anak-anak dalam berkarya, juga meningkatkan apresiasi orang tua terhadap kerja keras anak.
Ketika menengok kelas Anindya, mereka sedang membahas buku The Twit karya Roald Dahl. Anak-anak disuruh bekerja berpasangan dan menulis kalimat apa kira-kira yang akan diucapkan Mr Twit kepada lawan bicaranya. Tiap dua anak menggunakan satu laptop, jadi belajar bahasa Inggris sekaligus belajar menggunakan komputer. Menurut saya, fasilitas ini lumayan mewah, atau glamour, istilah Adik Saya. Kerja berpasangan seperti ini sangat membantu Anindya yang tadinya belum berani bicara di dalam kelas menjadi sedikit lebih berani. Maklum, Anindya takut berbicara di depan banyak orang. Jadi kalau cuma harus bekerja dengan satu orang lain, Anindya lebih nyaman.
Selesai mengintip kelas, kami berkumpul di selasar untuk acara Parents Brunch. Untuk acara ini setiap orang membawa satu piring makanan. Saya membawa martabak dengan kulit roti chappati (kapan-kapan resepnya saya bagi). Di meja saji terhidang banyak jenis makanan tradisional, kebanyakan dari Bangladesh dan Lebanon.
Begitu acara dibuka oleh Kepala Sekolah, kami langsung menyerbu meja saji. Saya mengambil satu satu setiap makanan yang terhidang, yang bentuknya lumayan menarik. Di piring saya ada Lebanese Pizza dengan sujuk, dua kue mirip lumpia tapi bentuknya segitiga, kue mirip martabak, kue bolu biasa untuk Ayesha, kue seperti apem, sejumput nasi biryani dan kue berbentuk bola putih yang ternyata manis banget. Saya beranikan diri untuk mencicipi makanan-makanan aneh yang saya tidak tahu namanya itu. Ada yang lumayan, ada yang rasanya tawar, ada juga yang "cuih" terlalu banyak bumbu. Memang ciri khas masakan Asia Kecil adalah bumbu-bumbu yang tajam. Yang paling enak menurut saya sih tetap martabak. Tapi belum sempat saya ambil, martabak saya sudah lenyap, laris manis.
A.K.
Foto-foto bisa diklik di sini.
Acara open house semacam ini memberi kesempatan pada orang tua murid untuk melihat kegiatan belajar mengajar di kelas. Tentu saja kesempatan seperti ini tidak kami lewatkan. Sebelum mengintip ruang kelas, kami melihat-lihat pameran karya seni murid-murid Hampden Park Public School (HPPS). Setiap siswa menampilkan satu karya mereka, entah itu lukisan, kolase, sketsa, gambar atau karya seni rupa yang lain. Tiap kelas mempunyai tema tersendiri. Tema kelas Anindya adalah membuat lukisan vas bunga.
Hasil kreativitas anak-anak usia SD ini sungguh mengagumkan. Mereka tidak takut untuk mengeluarkan ide mereka dalam bentuk karya. Beberapa kelas mengambil tema Picasso. Dari tema Picasso saya menjumpai karya sketsa dan kolase yang unik. Mungkin tema Picasso ini cocok untuk anak-anak karena mereka tidak terintimidasi untuk membuat lukisan atau karya yang "indah" dan "sempurna".
Saya jadi ingat zaman SD dulu. Saat pelajaran seni, kami semua menggambar dua gunung berapi dengan matahari di tengah dan persawahan di bawahnya. Saya takut untuk menggambar yang lain karena gambar gunung kembar itulah yang dicontohkan oleh guru. Saya juga takut kalau gambar saya nanti jelek dan tidak seperti aslinya. Tapi mungkin anak SD zaman sekarang di Indonesia sudah lebih ekspresif dan berani. Gambar-gambar Anindya ketika sekolah di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya dulu juga tidak melulu pemandangan dengan latar belakang gunung.
Para pengunjung pameran diperbolehkan membeli karya seni anak-anak seharga $ 1. Tentu saja kami membeli karya anak kami sendiri, hehehe. Menurut saya pameran seperti ini adalah ide yang bagus. Disamping meningkatkan rasa percaya diri untuk anak-anak dalam berkarya, juga meningkatkan apresiasi orang tua terhadap kerja keras anak.
Ketika menengok kelas Anindya, mereka sedang membahas buku The Twit karya Roald Dahl. Anak-anak disuruh bekerja berpasangan dan menulis kalimat apa kira-kira yang akan diucapkan Mr Twit kepada lawan bicaranya. Tiap dua anak menggunakan satu laptop, jadi belajar bahasa Inggris sekaligus belajar menggunakan komputer. Menurut saya, fasilitas ini lumayan mewah, atau glamour, istilah Adik Saya. Kerja berpasangan seperti ini sangat membantu Anindya yang tadinya belum berani bicara di dalam kelas menjadi sedikit lebih berani. Maklum, Anindya takut berbicara di depan banyak orang. Jadi kalau cuma harus bekerja dengan satu orang lain, Anindya lebih nyaman.
Selesai mengintip kelas, kami berkumpul di selasar untuk acara Parents Brunch. Untuk acara ini setiap orang membawa satu piring makanan. Saya membawa martabak dengan kulit roti chappati (kapan-kapan resepnya saya bagi). Di meja saji terhidang banyak jenis makanan tradisional, kebanyakan dari Bangladesh dan Lebanon.
Begitu acara dibuka oleh Kepala Sekolah, kami langsung menyerbu meja saji. Saya mengambil satu satu setiap makanan yang terhidang, yang bentuknya lumayan menarik. Di piring saya ada Lebanese Pizza dengan sujuk, dua kue mirip lumpia tapi bentuknya segitiga, kue mirip martabak, kue bolu biasa untuk Ayesha, kue seperti apem, sejumput nasi biryani dan kue berbentuk bola putih yang ternyata manis banget. Saya beranikan diri untuk mencicipi makanan-makanan aneh yang saya tidak tahu namanya itu. Ada yang lumayan, ada yang rasanya tawar, ada juga yang "cuih" terlalu banyak bumbu. Memang ciri khas masakan Asia Kecil adalah bumbu-bumbu yang tajam. Yang paling enak menurut saya sih tetap martabak. Tapi belum sempat saya ambil, martabak saya sudah lenyap, laris manis.
A.K.
Foto-foto bisa diklik di sini.
Comments
*kecuali SBI dan RSBI (jadi ibarat kaya ya syarat dan ketentuan berlaku lah ha..ha..ha)