Jalan Kaki

Tinggal di Sydney membuat saya jadi banyak jalan-jalan. Literally. Di sini memang nggak ada becak, ojek atau sepeda motor. Kemana-mana harus jalan kaki, kecuali kalau Anda punya mobil dan sanggup membayar biaya parkir yang mahal.

Dulu, pertama kali datang ke Sydney, sempat lunglai juga harus jalan kaki ke mana-mana. Duh, bangun pagi kaki langsung pegel-pegel. Terlanjur hidup manja di Indonesia sih, belanja ke warung sebelah naik motor, nganterin anak sekolah naik mobil. Jalan-jalannya di Mal doang. Tapi ya maklum, siapa yang mau jalan kaki di Indonesia? Trotoarnya saja nggak ada. Kalaupun ada, sudah keburu diduduki sama pedagang kaki lima. Belum lagi bonus asap kendaraan dan debu jalanan.

Sekarang sih saya sudah terbiasa jalan kaki. Kecepatan jalan saya juga sudah menyamai orang-orang sini (Bangladesh, Lebanon, hehehe...). Kalau Anda menanyakan jarak di sini, biasanya dijawab dengan berapa menit jalan atau berapa menit naik mobil. Misalnya apartemen saya yang jaraknya 15 jalan dari stasiun (dengan catatan, standar jalannya orang sini, bukan orang Jogja yang alon-alon waton klakon). Sekolah Anindya jaraknya 7 menit jalan dari apartemen. Sementara Sydney Uni jaraknya 30 menit naik kereta, plus 15 menit jalan ke stasiunnya (weh, kok jauh juga ya?).

Minggu kemarin saya berpapasan dan berkenalan dengan orang Indo yang baru sebulan datang ke sini. Dia mengeluh karena di sini harus jalan kaki ke mana-mana. Kalau di Jakarta, kemana-mana tinggal naik ojek. Loh, kalau saya sih mending jalan kaki di sini daripada harus naik ojek ke mana-mana, membayangkan pakai helm abang tukang ojek aja saya nggak sanggup. Dia juga tersengal-sengal mengikuti kecepatan saya berjalan (kami berdua sambil mendorong stroller). Wah, yang ini saya baru sadar setelah kami berpisah di depan stasiun, dan saya merasa bersalah.

Saya senang jalan kaki di sini, trotoarnya ada sepanjang jalan, di pinggir jalan ada pohon-pohon peneduh dan tersedia fasilitas menyeberang jalan. Di sini, kendaraan harus berhenti kalau pejalan kaki melintas di zebra cross. Lagipula, jalan kaki membuat saya bugar (capek iya, tapi bugar juga dapat). Daripada harus membuang banyak uang untuk jalan di treadmil (yang nggak sampai ke mana-mana) seperti teman saya yang ini?

A.K.

Comments

Laura Khalida said…
wakt sya penelitian ke hongkong jg jalan kaki mulu. tp i was happy. pantes org sana ga ada yg gemuk kyk sya hehe. di indo u jalan ga bgt deh,apalg jak,dpok,sma aja,asep kagak nahan. so i miz bsa jalan kaki kyk suasana di hk,singapura,n Aussie jg. kpn bsa ke LN lg yah?*scr perginya sll ada yg byri ato sponsorin hehe thanx Allah*
ervin sunardy said…
gak ada ojek, gak bechek donk.. (ngomong ala cinta laura)
ade kumalasari said…
loh bukannya malah enak kalok ada sponsornya? hati senang, kantong tetap aman.
ade kumalasari said…
tetep becek nih kalok ujan, tapi gak sampe banjir kok...
ervin sunardy said…
hujan, becek, trus banjir, jd ingat di mana gitu
ade kumalasari said…
negeri kita tercinta, No?
ori widianto said…
hmm bukannya orang Indonesia terkenal paling malas jalan kaki, apalagi yang tinggal di kota-kota besar ? :)

Tapi kalo masalah belanja..itu orang Indonesia deh jagonya :))
ade kumalasari said…
memang, malas jalan kaki, kecuali di Mal. coba kalo di dalam Mal ada ojeknya, hehehe...

Popular posts from this blog

HIDUP BOLEH SEDERHANA, PENDIDIKAN JANGAN SEDERHANA

Berbunga-bunga Karena Bunga: Catatan Dua Puluh Tahun Bersama

Time Flies When You Put Your Baby at Childcare

Big Announcement

Bahasa Ayesha

Barbie this arvo?

Naik Garuda

BODY SHAMING

Pengalaman Diet Mayo: 13 Hari Turun 4,5 Kg Tanpa Olahraga