Holland Place
Sekarang ini saya tinggal di Holland Place. Mendengar sepintas namanya, memang yang terbayang adalah Melrose Place, apartemen mewah seperti judul serial TV yang populer tahun 1990-an tersebut. Sayangnya, tempat ini tidak sekeren namanya. Tempat ini bukan apartemen mewah dan saya tidak bertetangga dengan bule-bule cakep.
Tapi, jangan menyangka saya tinggal di rusunawa lho. Standar apartemen biasa kelas orang-orang imigran di sini sudah cukup bagus lah untuk ukuran orang Indonesia yang hidup sederhana (ehm!) seperti saya. Kami menyewa apartemen dengan dua kamar tidur. Biaya sewa seminggu adalah $250. Hayo, hitung dalam rupiah dengan kurs 1 AUD = Rp 7800! Itu sudah termasuk murah untuk ukuran sewa apartemen di daerah sekitar Sydney. Memang harga sewa di Sydney paling mahal dibandingkan kota-kota lainnya di Australia. Semakin lama harga sewa semakin mahal, sampai akhirnya orang-orang harus 'menyingkir' ke daerah yang lebih jauh lagi dari pusat kota. Seperti kami yang sekarang terpaksa menyingkir ke Lakemba.
Dulu, kami tinggal di daerah Marrickville. Sekarang harga sewa di daerah tersebut sudah sekitar $300 ke atas. Sedangkan harga sewa di seputaran Sydney University mencapai $420 ke atas. Duh, nggak kuat!
Satu bangunan apartemen kami dibagi menjadi empat unit. Jadi, kami tinggal dalam satu bangunan dengan tiga keluarga lainnya (yang sayangnya saya belum sempat kenalan). Tapi, dari baju yang tergantung di jemuran dan bau masakannya saya bisa menduga tetangga saya ini adalah orang-orang India (atau Bangladesh) dan Lebanon. Nanti saya beritahu kalau tebakan saya benar.
Apartemen kami nggak bisa dibilang besar sih, tapi lumayan lah. Ada dua kamar tidur (kamar saya ada built-in-wardrobe nya, hore!), lounge (ini ruang apa saja, bisa untuk ruang tamu, ruang keluarga, ruang main wii, ruang nonton tv, ruang makan kalau lagi pengen makan di depan tv, hehehe), dapur sekaligus ruang makan (yang ini pakai meja), ruang cuci alias laundry, kamar mandi dan balkoni.
Saya suka dapurnya, meskipun saya tidak bisa memasak. Dapur di sini selalu sudah dilengkapi dengan kompor (entah listrik atau gas) yang biasanya ada oven dan panggangannya. Juga kitchen cabinet dan tentu saja kitchen sink. Saya juga suka kamar mandinya yang kalau di Indonesia sudah setara kamar mandi hotel bintang tiga: ada bathtub, shower, toilet, wastafel dan air panas atau dingin. Saya belum pernah menggunakan bathtub-nya sih, tapi, siapa tahu...
Balkoninya kecil, dan fungsinya bukan tempat untuk memandang-mandang pemandangan di bawah melainkan untuk meletakkan jemuran. Ah, ini memang gaya orang miskin (maksud saya sederhana). Di apartemen orang kaya, fungsi balkoni adalah untuk duduk-duduk sambil minum kopi, atau malah untuk barbecue, karena mereka biasanya menaruh pakaian di laundry/dry clean.
Saya juga suka pemandangan dari jendela kamar saya. Begitu tirai dibuka, terlihat jalan kuldesak yang lapang, juga pohon besar yang teduh tepat di depan unit. Tiap pagi, kami bisa mendengar kicau dan kaok-kaok burung yang bersarang di pohon itu.
A.K.
Tapi, jangan menyangka saya tinggal di rusunawa lho. Standar apartemen biasa kelas orang-orang imigran di sini sudah cukup bagus lah untuk ukuran orang Indonesia yang hidup sederhana (ehm!) seperti saya. Kami menyewa apartemen dengan dua kamar tidur. Biaya sewa seminggu adalah $250. Hayo, hitung dalam rupiah dengan kurs 1 AUD = Rp 7800! Itu sudah termasuk murah untuk ukuran sewa apartemen di daerah sekitar Sydney. Memang harga sewa di Sydney paling mahal dibandingkan kota-kota lainnya di Australia. Semakin lama harga sewa semakin mahal, sampai akhirnya orang-orang harus 'menyingkir' ke daerah yang lebih jauh lagi dari pusat kota. Seperti kami yang sekarang terpaksa menyingkir ke Lakemba.
Dulu, kami tinggal di daerah Marrickville. Sekarang harga sewa di daerah tersebut sudah sekitar $300 ke atas. Sedangkan harga sewa di seputaran Sydney University mencapai $420 ke atas. Duh, nggak kuat!
Satu bangunan apartemen kami dibagi menjadi empat unit. Jadi, kami tinggal dalam satu bangunan dengan tiga keluarga lainnya (yang sayangnya saya belum sempat kenalan). Tapi, dari baju yang tergantung di jemuran dan bau masakannya saya bisa menduga tetangga saya ini adalah orang-orang India (atau Bangladesh) dan Lebanon. Nanti saya beritahu kalau tebakan saya benar.
Apartemen kami nggak bisa dibilang besar sih, tapi lumayan lah. Ada dua kamar tidur (kamar saya ada built-in-wardrobe nya, hore!), lounge (ini ruang apa saja, bisa untuk ruang tamu, ruang keluarga, ruang main wii, ruang nonton tv, ruang makan kalau lagi pengen makan di depan tv, hehehe), dapur sekaligus ruang makan (yang ini pakai meja), ruang cuci alias laundry, kamar mandi dan balkoni.
Saya suka dapurnya, meskipun saya tidak bisa memasak. Dapur di sini selalu sudah dilengkapi dengan kompor (entah listrik atau gas) yang biasanya ada oven dan panggangannya. Juga kitchen cabinet dan tentu saja kitchen sink. Saya juga suka kamar mandinya yang kalau di Indonesia sudah setara kamar mandi hotel bintang tiga: ada bathtub, shower, toilet, wastafel dan air panas atau dingin. Saya belum pernah menggunakan bathtub-nya sih, tapi, siapa tahu...
Balkoninya kecil, dan fungsinya bukan tempat untuk memandang-mandang pemandangan di bawah melainkan untuk meletakkan jemuran. Ah, ini memang gaya orang miskin (maksud saya sederhana). Di apartemen orang kaya, fungsi balkoni adalah untuk duduk-duduk sambil minum kopi, atau malah untuk barbecue, karena mereka biasanya menaruh pakaian di laundry/dry clean.
Saya juga suka pemandangan dari jendela kamar saya. Begitu tirai dibuka, terlihat jalan kuldesak yang lapang, juga pohon besar yang teduh tepat di depan unit. Tiap pagi, kami bisa mendengar kicau dan kaok-kaok burung yang bersarang di pohon itu.
A.K.
Comments
hope you will be enjoying the place even more...
trs kl transportasi ksana ke sidney mhal gk?