REVIEW DUA GARIS BIRU: KEHAMILAN REMAJA DAN HAL-HAL YANG TIDAK KITA BICARAKAN


Kami beruntung pas liburan di Indonesia ketika film Dua Garis Biru ini tayang di bioskop. Saya pengen nonton film debut Gina S. Noer sebagai sutradara ini karena temanya sangat menarik, yaitu tentang teen pregnancy, sudah ketebak dari judulnya ya. Big A (anak sulung saya, cewek usia 17 tahun) pun pengen nonton, karena dia nge-fans sama Zara JKT48. Jadi lah akhir pekan kemarin kami berdua nonton bareng, dan… mewek bareng.

Sebelum film ini tayang, saya mbatin, “Wah, Gina ini pemberani banget, milih topik sensitif begini.” Dan sudah diduga kalau ada penolakan sana-sini, oleh orang yang… belum nonton filmnya. Sebenarnya, kalau mau mikir dikit aja, ya mana mungkin sutradara film ini, yang juga seorang ibu dari dua anak, mau mempromosikan seks bebas. Woi, yang benar aja. Kita nih sebagai orang tua, sebenarnya punya kekhawatiran yang sama akan pergaulan bebas anak-anak remaja. Bedanya, kelompok yang satu menutup akses pengetahuan akan pendidikan seks, dan malah berupaya melegalkan seks remaja dengan pernikahan dini, sementara kelompok satunya ingin membuka akses seluas-luasnya tentang pendidikan seks, mengenali risiko-risiko yang ada, dan mengajak remaja abstain sampai usianya matang, baru melakukan hubungan seks yang legal. Saya jelas kelompok yang kedua.

Film ini dibuka dengan pengenalan tokoh Dara dan Bima di sekolah. Dilanjutkan dengan kedekatan mereka sehari-hari di luar sekolah. Yang protes karena menyangka bakal ada adegan mesum di film ini, akan kecewa. Bahkan adegan ciuman pun nggak ada. Kalah sama film Spiderman yang ada adegan ciumannya, dan ratingnya untuk semua umur. Hayo, anak Bapak Ibu umur berapa diajak nonton film superhero ini di bioskop?

Adegan manis hanya ada di lima menit pertama film ini. Setelah itu langsung konflik, konflik, konflik yang bikin banjir air mata. Untungnya Gina menyisipkan humor-humor yang pas waktu dan takarannya, yang membuat kita tertawa sebentar, sebelum akhirnya mewek lagi. Kisahnya mengalir dengan lanacar. Gina is a great story teller. Dialog dan aktingnya wajar gak kayak sinetron. Yang casting pinter banget deh, perannya pas semuanya.

Ada adegan yang sangat menonjol dengan setting di UKS. Yang nonton jadi ikut tegang banget. Kok bisa siiiiiih? Aku nggak akan spoiler ya, tonton lah sendiri.

Di film ini bertaburan kosakata-kosakata yang selama ini dianggap tabu dan mungkin bikin orang tua deg-deg-an kalau anaknya nanya: menstruasi, kondom, alat kontrasepsi, IUD, penis, rahim, hubungan badan, tes pack, dll. Padahal ini semua kan kosakata sains. Coba kalau anak anda menanyakan hal-hal di atas pada anda orang tuanya, dengan kosakata yang benar, bersyukurlah. Bayangkan kalau anak-anak tahunya istilah slang-nya, yang jelas sumbernya bukan dari buku sains, tapi dari pornografi atau dari teman sebaya yang sama-sama nggak tahunya. Di film ini, saya ingat ada adegan yang membuat saya tepok jidat, ketika salah satu tokoh menduga jenis kelamin si bayi, dengan alasan yang sama sekali nggak masuk akal. Duh, ini menunjukkan betapa si tokoh ini nggak pernah tersentuh pendidikan seks sama sekali.

Setelah nonton bareng Big A, saya tanyakan padanya, apa yang baginya menarik. Big A setuju dengan saya bahwa ceritanya mengalir, dan juga menyentuh. “Dua tissue nggak cukup, Ma,” katanya. Dia bisa notice risiko-risiko apa saja yang bakal dihadapi oleh kehamilan di usia remaja. Tapi yang paling menarik bagi Big A adalah endingnya. Dia sudah tahu film ini bakal menyuguhkan konflik yang mungkin terjadi akibat teen pregnancy, tapi dia penasaran banget endingnya bakal gimana. Di ending film ini, Gina memberikan kekuatan pada si tokoh perempuan. Saya bilang ke Big A, “But this is not something that usually happens in real world. Usually, the girl will suffer more. Also, if you are not from upper middle class family, the ending would be different.” Big A setuju, “I know.” Dia paling terkesan ketika Dara mengatakan kurang lebihnya: aku nggak ingin aku menyalahkan anakku karena aku nggak bisa kuliah. Line yang luput dari ingatanku, tapi ternyata paling nancep di ingatan Big A. Lalu kami membicarakan tentang perbedaan kelas antara keluarga Dara dan Bima, dan tentu cara pengasuhan yang berbeda.

Film ini membuka lebar-lebar ruang untuk diskusi. Mulai dari segala kosakata medis yang keluar dari mulut Bu Dokter Obgyn (ya ampun, Ligwina ini aktingnya bikin gemesh juga), sampai kenapa kira-kira Dara dan Bima bisa khilaf melakukan hal yang menyebabkan kehamilan tak diinginkan. Sesama ortu pun bisa diskusi, kita udah bener belum nih nanganin anak.

Yang belum nonton, ajak anak, adik, atau ponakan nonton gih (rating 13 tahun). Yang anaknya udah gak mau nonton bareng ortu, ya nonton terpisah, tapi ntar diskusiin bareng. Ngobrolin topik-topik sensitif emang tidak nyaman, tapi akan lebih nggak nyaman lagi kalau anak-anak kita lebih percaya dan berani nanya ke orang lain, bukan ke orang tuanya sendiri. Jangan halangi anak mendapatkan informasi seluas-luasnya, karena itu adalah hak mereka.

Magelang, 16 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

Memulai Investasi Reksadana

Live The Dream

Fitnes, Penting Gak Sih?

"LHO MASIH KECIL KOK SUDAH KELAS 2?"

Love at Every Byte

Kiriman Tak Sampai

Penulis Kurang Gizi

Testimonial

The Drama