Resep
I am a complete idiot on cooking. Ibu saya piawai memasak masakan super lezat. Sayangnya bakat itu tidak 'menurun' ke saya.
Kok bisa ibunya pinter masak tapi anaknya gak bisa masak sama sekali? Entahlah. Seingat saya waktu kecil dulu saya juga sering disuruh membantu ibu di dapur. Tapi ibu tidak pernah sabar dengan hasil kerja saya yang lambat dan tidak sempurna. Asal tahu saja, ibu saya sangat cepat dan trengginas dalam bekerja, dengan hasil sempurna. Seringnya, bantuan saya malah menghambat kerja ibu, jadi saya sering diusir dari dapur. Alhasil, saya tidak mewarisi ketrampilan memasak ibu.
Tapi saya tidak bisa menyalahkan ibu yang terlalu pintar memasak. Nyatanya adik saya juga berbakat memasak. Dia lebih sukses menjadi apprentice ibu. Sepertinya, masalahnya memang ada pada diri saya sendiri.
Tinggal di negeri orang memaksa saya memasak sendiri. Sehari-hari kami makan makanan Indonesia. Suami saya termasuk orang yang belum kenyang kalau belum makan nasi. Dulu saya selalu mengandalkan bumbu instant seperti bamboe, munik, indofood dan kokita yang tersedia di warung-warung Indonesia di sini. Praktis, tinggal siapkan bahan, gunting bumbunya, dan campur-campur. Rasanya? Enak sih, tapi ada yang kurang.
Suatu saat seorang teman mengingatkan bahwa nggak bagus kalau selalu pakai bumbu jadi. Tidak segar dan ada pengawetnya. Iya sih...
Lebaran kemarin saya memasak opor, masih dengan bumbu jadi. Saya tidak terlalu bangga dengan masakan instan itu. Dari teman-teman, saya dapat kiriman sambal goreng, lontong sayur dan opor juga. Sedih rasanya nggak bisa membalas mengirim masakan juga. Nggak lucu kan kirim makanan dari bumbu jadi.
Tiap lebaran memang rasanya saya jadi mellow. Pengen makan masakan ibu. Apalagi adik saya manas-manasin ibu sedang masak srundeng yang saya ingat rasanya spektakuler. Baiklah, saya memang harus berpaling lagi ke ibu. Meminta warisan resep-resepnya. Saya menelpon ibu, siap dengan catatan. Sayang sekali, ibu bukan termasuk orang yang pinter menceritakan kembali cara memasak. Saya minta resep, saya tanya berapa bawangnya, berapa cabenya? Ibu menjawab: yaa secukupnya. Hohoho, kalau saya tahu secukupnya itu berapa, barangkali saya tidak perlu lagi resep. Saya perlu resep karena saya selain tidak tahu bumbu apa saja yang dipakai, juga tidak tahu seberapa banyak bumbu-bumbu itu.
Memang akhirnya saya berhasil mendapatkan resep srundeng dan mangut dari ibu, setelah wawancara mendetail. Kadang ibu lupa menyebutkan bumbu tertentu, tiba-tiba di tengah jalan dia sebutkan sekarang masukkan bumbu ini. Lha tadi kok belum disebutkan?
Itu juga yang terjadi ketika saya meminta resep sambal bawang (sambal favorit suami) dari Yu Yem, asisten di rumah Malang. Duh, repotnya. Yu Yem juga tidak bisa mendeskripsikan berapa banyak bawangnya, cabenya, garamnya. Secukupnya lah. Terus tinggal digoreng dan diuleg.
Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang keahliannya memasaknya memang sudah dari sananya, yang bisa kira-kira dan ngerti masakan ini kurang apa. Beda dengan saya yang belajar dari resep dan buku. Mungkin sama juga dengan orang-orang yang heran bagaimana saya bisa menulis novel. Kalau saya harus jelaskan satu-satu cara menulis novel, saya juga tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Internet sebenarnya sumber yang melimpah untuk mendapatkan resep-resep Indonesia. Tapi sayangnya resep-resep itu kurang detil, untuk complete idiot seperti saya. Saya benci dengan kata-kata 'secukupnya', atau 'sesuai selera'. Kadang untuk resep membuat kue tidak disebutkan berapa derajat oven nya dan berapa lama memanggangnya. Cuma ditulis panggang sampai matang. Orang seperti saya, mana bisa tahu kapan matangnya?
Sampai akhirnya saya menemukan resepnugraha.net yang menurut saya sangat membantu untuk pemasak pemula seperti saya. Mbak Astri, pemilik website ini selalu menyebutkan dengan jelas takaran bumbu dan bahan dan juga cara memotong (apakah dipotong serong atau dipotong 1 cm, dicincang halus atau dicincang kasar). Resep-resepnya komplit dan praktis, cocok untuk orang yang tinggal di luar negeri dan kangen masakan Indonesia.
Minggu ini, setelah Ayesha nggak begitu lengket sama saya, mulailah saya dibantu suami belajar memasak dengan serius. Kami mulai dengan memasak ikan baramundi. Selama ini kami tidak pernah memasak ikan karena tidak tahu jenis-jenis ikan dan bagaimana memasaknya. Ternyata masakan baramundi kami sukses. Diikuti masakan-masakan selanjutnya: tempe penyet, ikan bumbu kuning, balado terong teri, cap cay kuah, lengkap dengan aneka sambal.
Puas rasanya bisa masak dengan bumbu-bumbu segar. Sekarang ini saya sedang menanti gudeg yang saya masak pakai slow cooker. Kalau yang satu ini berhasil, berarti saya bisa 'naik kelas' nih.
A.K.
Comments
Bingung gitu kan jadinya ngikutin petunjuknya. Apalagi kalau urusannya udah masakan favorit suami yang minta resepnya ke mertua dan requestnya rasanya harus persis, padahal katanya pakai kira-kira. TFS untuk alamat website resepnya :).
btw, selamat atas gudegnya... ;)