AYAH HADIR
Lil A di Grundschule |
‘Hari
Kelulusan’ SD di sini biasa banget. Nggak ada perayaan apa-apa, nggak ada
wisuda yang ekstravaganza. Lha wong nggak ada ujiannya juga. Lil A pun hanya
mendapatkan Zeugnis alias raport thok til, yang cuma dua halaman kertas biasa.
Nggak ada ijazah SD (Mbuh nanti gimana kalau mau ngelanjutin ke SMP di
Indonesia, dipikir engko), nggak ada SHUN (UN-nya aja nggak adaaaa).
Aku
pikir tadi bakalan ada semacam pentas seni tutup tahun gitu. Aku udah siap-siap
hadir sore hari meski gak terima undangan. Kupikir Lil A kelewat ngasih
undangannya. Meski aku agak melow karena Nino masih dines di LN. Ternyata nggak
ada apa-apa babar blas. Aku tadi cuma pamitan sama carer-carer Lil A di
Betreuung (after school care). Salah satu Frau-nya bilang kalau Lil A ini anak yang
manis banget budi pekertinya. Dia juga hebat banget raportnya bagus, padahal
baru satu tahun pindah ke sini. Duh, untung Lil A nya nggak denger, dia bisa
kembang kempis dipuji begitu. Frau-nya juga bilang, “You and your husband
really did a good job.” Alhamdulillah, aku terharu banget dengarnya, karena
selama ini kami merasa jadi warga pinggiran karena kemampuan bahasa Jerman kami
yang terbatas.
Oke,
sekarang tentang Nino. Dia memang nggak hadir di hari terakhir sekolah Lil A,
juga pernah nggak hadir di wisuda SMP Big A karena ada tugas di Jakarta. Tapi…
Nino sebagai ayah selalu hadir di hari-hari penting lainnya. Yang kumaksud
hari-hari penting ini adalah hari-hari biasa, ketika kita nggak ada acara
khusus, tapi anak-anak selalu menginginkan kedekatan dengan orang tua.
Nino
pernah cerita, berdasarkan hasil riset, yang paling menentukan keberhasilan
anak di sekolah bukanlah fasilitas sekolah, atau hebatnya guru, tapi apa yang
dilakukan orang tua ke anak-anak di rumah, terutama ketika mereka berusia 6-7
tahun. Aku ingat reaksi terkejutku ketika mendengarkan cerita Nino ini.
Wirklich? Really? Langsung aku ingat-ingat apa yang sudah kami lakukan ketika
anak-anak usia segitu.
Aku
ingat ketika Big A masuk Kindergarten dan kelas 1 Primary School di Sydney,
Nino membacakan chapter book SETIAP MALAM. Dengan telaten dia membacakan The
Wind in the Willows, Pollyanna, Secret Garden, dan Black Beauty, per bab setiap
malam. Ketika Lil A kelas 1 SD, Nino juga membacakan buku, tapi tidak serajin
ketika dengan Big A, karena Lil A punya interest lain. Tapi aku ingat Nino
mendampingi Lil A belajar matematika di Khan Academy, dan… main game bersama.
Kalian pasti senyum-senyum kalau aku kasih tahu Lil A dan ayahnya punya satu
akun game yang mereka namai bersama. Akun ini masih sesekali dipakai sama Nino,
hahaha. Nggak usah kubuka ya, ntar meruntuhkan reputasi Pak Dosen, hehehe.
Intinya,
ayah hadir.
Mengasuh
anak nggak cuma tugas ibu doang. Ibu-ibu jangan merasa bersalah kalau meminta
waktu ayah untuk menemani anak-anak. Itu hak anak untuk dekat dengan ayahnya.
Kecapekan bekerja mencari nafkah semestinya tidak dijadikan alasan untuk nggak
punya waktu dengan anak. Lha wong waktunya nggak harus untuk urusan serius kok.
Main lah bersama, apa hobi atau ketrampilan Ayah yang bisa dilakukan bareng
atau diwariskan ke anak. Mohon maaf kalau contohnya tadi belajar matematika
bareng, lha wong itu memang hobinya Nino :D
Anak-anakku
punya kedekatan sendiri dengan ayahnya. Kalau mereka merasa sakit, tengah malam
mereka nggak segan-segan datang ke Nino, untuk minta dipijit, diolesi minyak,
dan lainnya. Mereka tahu kalau urusan sakit, Emaknya nggak bakalan telaten,
mending ngadu ke ayahnya. Pagi hari, Nino juga yang ngantar anak-anak ke
sekolah. Percuma nugasin aku, yang gak bisa berfungsi dengan baik di pagi hari
sebelum minum secangkir kopi. Kecuali kalau antar sekolah anaknya di Australia
yang jam masuk sekolahnya jam 9.30 yaaa. Ini sih aku sanggup ☺ Kalau berangkat
jam tujuh pagi, mohon maaf, mending sama ayahnya aja.
Aku
pernah nanya ke Nino soal postingan yang di-syar-syer banyak orang, tentang
anak umur segini harus dekat ke siapa, umur selanjutnya harus dekat ke siapa.
Aku kok nggak percayaaaaa. Menurutku anak-anak harus selalu dekat dengan kedua
orang tuanya, nggak peduli usia berapa dan apa jenis kelaminnya. Aku selalu gatel
pengen nyanggah, tapi gak punya bukti sanggahan valid (aku nggak bisa
ngebambang). Tapi Nino jawabnya cuma senyam-senyum kalau ditanya, “Aku nggak
pernah dengar hasil penelitian kayak gitu.”
Jadi
yang kami lakukan ke anak-anak ya memang pengasuhan bersama. Masing-masing anak
punya kedekatan yang berbeda dengan ibu dan ayahnya. Seperti anak-anak yang
lebih nyaman wadul kalau sakit ke ayah, minta diajarin matematika ke ayah, tapi
lebih nyaman cerita soal naksir teman ke ibu, cerita soal wishlist barang-barang
impian ke ibu. Kalau bisa, sempatkan untuk kencan dengan masing-masing anak,
bukan cuma acara bareng-bareng. Misalnya Lil A kencan dengan Ayahnya berdua.
Big A kencan dengan ibunya berdua (biasanya kalau Big A kutraktir makan,
ceritanya keluar banyak). Lil A dengan ibunya (ini sering sih karena tiap hari
jemput sekolah, kadang mampir beli es krim.). Big A kencan dengan ayahnya.
Ketika kami liburan ke Madrid bulan lalu, kami melakukan ini. Ketika aku dan
Big A kencan nonton tenis bareng, Lil A dan Ayahnya pergi berdua belanja
oleh-oleh, and we all had a good time. Kencan paling epik yang pernah dilakukan
Nino sama Big A adalah ketika mereka berdua nonton film High School Musical,
pas Big A masih SD. What an unforgettable moment for Big A, until now.
Jadi…
pesanku buat buibu, kalau anak-anak lagi dipegang ayahnya, santai aja jangan
senewen, atau dikit-dikit ngecek. Biarkan mereka menikmati waktu bersama, enjoy
aja me-time kita sendiri. Karena kalau nggak dekat dengan anak sejak kecil,
lumayan susah membangun kedekatan lagi ketika mereka sudah remaja dan sudah
punya dunia sendiri.
Frankfurt
am Main, 28.06.2019
*Ps
to Nino Aditomo: We are lucky to have
you. Ndang muliho.
Comments