No Surprise
Kembali ke Australia rasanya kok kayak pulang kampung aja. No surprise, no more excitement. Semua masih seperti enam bulan yang lalu ketika kami kembali ke Indonesia.
Mulai menginjakkan kaki di bandara, saya sudah tahu mau menuju kemana. Melewati petugas imigrasi, saya juga kalem-kalem aja, bahkan saya kepedean menyapa mereka duluan. Bandingkan dengan waktu pertama kali saya ke Australia, deg-deg-an terus bawaannya. Takut enggak ngerti mereka ngomong apa. Padahal toefl saya lumayan loh... cuma tingkat percaya diri saya saja yang rendah. Maklum, saya ini memang soliter di dunia nyata.
Nino was as handsome as ever. We hugged and kissed and went home by taxi.
Tempat tinggal kami juga seperti yang saya bayangkan. Harga barang-barang di sini juga belum naik (ugh, jangan sampai). Susu cair satu liter masih $1.09, sayap ayam mentah satu kilo masih $2.60, tempe satu kotak juga masih $2.50, teh kotak 200 mL $1.10.
Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge juga masih semegah sebelumnya. Tapi, percaya nggak, Opera House itu bagusnya kalau dilihat dari jauh. Kalau dari dekat, nggak jauh beda dengan Monjali, hehehe... Saya ingat perasaan saya ketika pertama kali melihat Opera House. Rasanya seperti mimpi. Saya terkagum-kagum dengan permukaan air yang berlimpah-limpah, bangunan yang mentereng, taman dan trotoar yang rapi dan keramaian orang dari segala bangsa lalu lalang.
Kelebihannya, saya tidak perlu waktu lagi untuk beradaptasi. Hari-hari pertama kami langsung beres-beres rumah, belanja, masak dan berkegiatan normal. Hanya saja saya merasa perlu untuk mendaftar tempat-tempat baru yang akan kami kunjungi, untuk membuat hidup kami bergairah kembali.
A.K.
Mulai menginjakkan kaki di bandara, saya sudah tahu mau menuju kemana. Melewati petugas imigrasi, saya juga kalem-kalem aja, bahkan saya kepedean menyapa mereka duluan. Bandingkan dengan waktu pertama kali saya ke Australia, deg-deg-an terus bawaannya. Takut enggak ngerti mereka ngomong apa. Padahal toefl saya lumayan loh... cuma tingkat percaya diri saya saja yang rendah. Maklum, saya ini memang soliter di dunia nyata.
Nino was as handsome as ever. We hugged and kissed and went home by taxi.
Tempat tinggal kami juga seperti yang saya bayangkan. Harga barang-barang di sini juga belum naik (ugh, jangan sampai). Susu cair satu liter masih $1.09, sayap ayam mentah satu kilo masih $2.60, tempe satu kotak juga masih $2.50, teh kotak 200 mL $1.10.
Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge juga masih semegah sebelumnya. Tapi, percaya nggak, Opera House itu bagusnya kalau dilihat dari jauh. Kalau dari dekat, nggak jauh beda dengan Monjali, hehehe... Saya ingat perasaan saya ketika pertama kali melihat Opera House. Rasanya seperti mimpi. Saya terkagum-kagum dengan permukaan air yang berlimpah-limpah, bangunan yang mentereng, taman dan trotoar yang rapi dan keramaian orang dari segala bangsa lalu lalang.
Kelebihannya, saya tidak perlu waktu lagi untuk beradaptasi. Hari-hari pertama kami langsung beres-beres rumah, belanja, masak dan berkegiatan normal. Hanya saja saya merasa perlu untuk mendaftar tempat-tempat baru yang akan kami kunjungi, untuk membuat hidup kami bergairah kembali.
A.K.
Comments