Asuransi Kesehatan BPJS, Sedia Payung Sebelum Hujan
Beberapa hari ini obrolan tentang BPJS ramai lagi. Ada yang pro, ada yang kontra. Yang pro sampai ada yang nggoblok-goblokin yang kontra. Aku kok rasane piye ngono baca yang kayak gini. Kurasa kampanye tentang BPJS kok kurang berhasil dan kurang pas ya. Pemerintah masih gagal mengedukasi masyarakat tentang asuransi. Pengertian dasar tentang asuransi aja masih sering disalahpahami, dan malah 'diselimurkan' sebagai gotong-royong atau membantu sesama. Ini kok kayak mbujuki anak kecil supaya mau makan dengan bilang kalau gak makan ntar ayamnya mati. Ya agak susah diterima logikanya.
Mbok terus terang saja: kita bayar asuransi untuk menutupi risiko (kejadian yang tidak diinginkan) yang mungkin muncul. Demi siapa? Ya demi kita sendiri. Kalau nggak terjadi apa-apa? Ya alhamdulillah. Asuransi itu seperti kita membeli payung, jaga-jaga kalau hujan. Payung nggak akan membuat hujan tidak turun, tapi kalaupun hujan, setidaknya kita nggak basah. Kalau ternyata nggak hujan, apa ya kita menyesal beli payung? Toh hujan pasti akan datang, cuma kita tidak tahu pasti kapan.
Aku juga nggak tahu gimana cara terbaik menjelaskan prinsip asuransi ini ke masyarakat umum. Kalau kelas menengah ke atas, tentu sudah biasa membeli asuransi. Ketika ambil KPR, ada asuransi kebakaran. Pas nyicil motor juga kan, ada asuransi kehilangan. Kalau mau bikin visa ke LN, selalu diwajibkan asuransi perjalanan yang mencakup biaya pengobatan, karena di LN biaya ke dokter mahal dan hampir dipastikan kita-kita ini nggak sanggup bayar.
Di Jerman, aku bayar €60 (Rp935ribu) per orang per bulan untuk asuransi kesehatan. Sekeluarga harus keluar hampir empat juta per bulan 'hanya' untuk asuransi kesehatan thok. Yang alhamdulillah manfaatnya belum pernah kami pakai. Dulu pas keluarga kami tinggal di Australia pun wajib punya asuransi kesehatan sebagai syarat izin tinggal. Tarifnya aku nggak ingat, tapi berat juga karena harus dibayar di muka, nggak bisa dicicil per bulan. Tentu saja biaya di Jerman/Australia dan di Indonesia nggak bisa dibandingkan. Kalau memang ingin membandingkan, silakan bandingkan iuran BPJS dengan asuransi kesehatan swasta. Adakah yang mau menanggung biaya rawat jalan dan rawat inap tanpa masa tunggu, termasuk penyakit yang sudah pernah diderita sebelumnya?
Tahun 2015, Ayahku pasang ring di jantungnya di RS Sardjito, Jogja. Semua biaya, Rp71 juta ditanggung BPJS. Tahun-tahun sebelumnya, sebelum ada program BPJS, ayahku selalu menolak kalau ditawari pasang ring. Alasannya, takut kalau operasinya gagal. Aku dan adikku tahu, alasan Ayah yang sebenarnya adalah soal biaya juga. Operasi jantung nggak murah. Ayahku penjahit (sekarang sudah pensiun), dan ibuku punya kios alat-alat jahit. Aku dan Dila mungkin bisa saja ngongkosi, tapi ya tentu mengganggu anggaran rumah tangga kami untuk bayar cicilan KPR, SPP anak, tabungan haji, dll.
Kalau dihitung-hitung, biaya operasi Ayah yang 71 juta itu, kalau dicicil 80 ribu sebulan, baru akan lunas dalam 74 tahun. Itu baru satu kali operasi. Ayahku masih perlu operasi lagi, dan perawatan rutin bulanan.
Jadi aku tidak keberatan membayar 80ribu per bulan untuk iuran BPJS. Manfaat BPJS kalau untuk keluargaku, jelas terasa. Tapi kalau disuruh memilih, aku lebih senang kalau tidak perlu menerima manfaat BPJS, alias selalu sehat.
[cerita tentang BPJS Ayah kami bisa dibaca di status Dila di FB, search aja "Dila Maretihaq Sari BPJS". Dia tulis berjilid-jilid]
Masih banyak yang perlu diperbaiki di program BPJS ini: birokrasi yang lebih sederhana, pelayanan yg lebih baik, kesejahteraan dokter & tenaga media, dll. Bagus kalau ada yang menulis kritik tentang ini. Tapi kurasa, asuransi kesehatan harus tetap ada. Kesehatan, dan juga pendidikan, semestinya tidak seperti barang yang diperjualbelikan.
Aku membayangkan, di tahun-tahun mendatang, sudah tidak ada lagi syer-syer-an orang minta sumbangan untuk biaya pengobatan, karena semua sudah dicover oleh asuransi kesehatan.
Foto: tagihan rumah sakit tahun 2015.
Kalau nggak punya BPJS, kami harus bayar 71 juta. Dengan BPJS, bayar nol rupiah.
Comments