Menonton Nicholas GIE Saputra
Aku bukan pengamat, apalagi kritikus film. Jadi, bacalah tulisan ini sebagai komentar dari orang biasa yang baru saja menonton film bagus.
Kalau bukan film GIE, aku nggak akan bela-belain nonton sendirian tanpa teman (sejauh mata memandang, pada pacaran semua euy!) di bioskop yang belum pernah aku masuki pula. Untung harga tiketnya murah, karena hari Senin, dan nggak perlu antri lama.
Kesan yang aku tangkap begitu film mulai berputar, sinematografi dan artistik-nya indah dan rapi sekali. Nuansa tahun 60-an terbangun dari rumah-rumah tua, tembok lumutan, menara mesjid, mobil VW yang lalu lalang, sepeda, pedagang kaki
lima
dengan toples bulatnya, cewek-cewek berkuncir dua. Asli jadul banget. Nggak ada setitik noda selip kelihatan jaman modern-nya (yo
wis
diedit tho!). Meskipun settingnya cuma itu-itu saja: rumah Gie (kordennya itu loh…), atap yang kelihatan menara mesjidnya, perempatan BATA (aha!), sekolah dan pecinan, tembok (ratapan?) sudah cukup mewakili jadul. Oh, iya, angkotnya boleh juga! Keren!
Sampai sini, masih asyik suguhan untuk matanya. Untunglah Babah Gie nggak begitu keliatan Robby Tumewu-nya. Lalu jreng! Tutie Kirana dengan kebaya merahnya. Hem, salut deh untuk tim artistik-nya!
Di awal-awal film, diceritakan Gie muda yang masih SMP, yang sudah muncul jiwa pemberontaknya, sampai-sampai dia nekad protes sama guru yang dia anggap enggak lebih pintar dari dia. Ternyata… Guru juga manusia…
Lalu berlanjut ke masa kuliah Nico, eh, Gie di UI. Terus terang aku merasa Nico masih terlalu kinclong untuk menjadi Gie, dan disandingkan dengan para figuran mahasiswa UI berwajah jadul. Tapi, yah, kita nggak boleh menghujat Nico karena dia ganteng
kan
? (Tom Cruise aja enggak bisa menanggalkan kegantenganya di The Last Samurai –emang susah jadi orang ganteng, hehehe). Nico, menurutku sudah main bagus. Dia sudah dapet soul-nya Gie. Coba lihat gesture-nya ketika berjalan sebagai Gie, ketika berargumen membela Herman Lantang sebagai ketua senat sastra yang non-partisan, lalu ketika dia ‘rikuh’ saat bersama Maria dan ‘pelacur enggak jelas’. Gie yang gelisah menjelang akhir hidupnya, yang menangis sambil tertawa di depan pagar rumah Maria. Salut untuk aktingnya yang bagus. He is just too handsome!
Sekarang tentang musik. Yep, musiknya cocok banget untuk setiap suasana. Lagu ketika Gie ngapel ke rumah Maria, jadul banget. Lagu genjer-genjer PKI (top bgt!), apalagi lagu Revolution untuk ngiringin demo-nya(semangat Coy!). Trus juga lagu Donna-Donna yang dinyanyiin Sita dengan bagus. Dapet banget tuh ‘nyawanya’! Selain lagu, ilustrasi musiknya juga oke, perhatiin enggak ketika musiknya berubah menjadi kelam saat menginjak tahun 1965? Jadi ingat film PKI-nya Arifin C Noer…
Ada
yang mengganjal neh ketika nonton film ini. Aku tidak bisa tahu dengan jelas, siapa kawan-kawan Gie, sobat politik dan musuh politiknya. Aku tahu dikit-dikit ada Herman Lantang, Aristides, Arif Budiman (kakaknya, Soe Hok Djin). Aku juga sudah membaca ulasan film Gie di majalah dan TV. Eh, tetep enggak ‘ngeh’ mereka-mereka itu siapa. Atau jangan-jangan karena film-nya dipotong-potong yah, trus tiba-tiba muncul tokoh-tokoh baru. Trus katanya tokoh Maria juga gabungan dari tiga tokoh (hah? kok bisa?). Coba kalau ketika kemunculan tokoh-tokoh mahasiswa eksponen 66 itu (yang sampai sekarang masih jadi tokoh di bidangnya), diberi teks perkenalan, nama dan afiliasinya gitu. (hik, cuma usul loh…). Karena, aku aja yang pernah baca Catatan Harian Soe dan sedikit tahu sejarah pergerakan mahasiswa, enggak ‘ngeh’, apalagi mereka, anak-anak kuliahan baru yang sama sekali enggak baca dan cuma pengen lihat Nico?
(Ups, jangan-jangan karena aku nonton tanpa kontak lensku, jadi enggak jelas?)
Ada
lagi neh yang mengganggu pemandangan mata: munculnya Indra Birowo. Bukannya dia main jelek, tapi kok aku tetap merasa dia Indra yang main extravaganza daripada Indra mahasiswa jadul. Hem, cuma Sita yang pas banget jadi Maria. Terus, Si Cantik Wulan Guritno? Menurutku, wajah porselen dan rambut selembut sutranya merusak suasana deh. She is just too beautiful… Kurang jadul gituu!
Oke, sekarang tentang simbol-simbol yang digunakan di film ini. Semua udah kena banget. Mulai dari ikan koi, laut untuk kebebasan, gunung, malam mencekam di Gambir (1 Oktober 1965), wayang untuk menggambarkan pembantaian di
Bali
. Yang kurang ‘kena’ cuma ketika Soekarno tercenung di jendela. Tapi lampu-lampu istana yang padam satu-satu boleh juga.
Endingnya… boleh juga. Mungkin Riri Riza ingin menggambarkan kesedihan dengan liris. Sebuah kematian yang indah, kematian yang membebaskan dari kegelisahan. Huhuhu, puisi Gie untuk Maria bikin terharu… Only the good die young…
Whoa, puas deh nontonnya! Kalau ada piala Citra tahun ini, aku yakin GIE akan menyabet piala untuk seluruh kategori… (kecuali pemeran utama wanita kalee).
Two thumbs for Miles and Riri.
A.K
Kalau bukan film GIE, aku nggak akan bela-belain nonton sendirian tanpa teman (sejauh mata memandang, pada pacaran semua euy!) di bioskop yang belum pernah aku masuki pula. Untung harga tiketnya murah, karena hari Senin, dan nggak perlu antri lama.
Kesan yang aku tangkap begitu film mulai berputar, sinematografi dan artistik-nya indah dan rapi sekali. Nuansa tahun 60-an terbangun dari rumah-rumah tua, tembok lumutan, menara mesjid, mobil VW yang lalu lalang, sepeda, pedagang kaki
lima
dengan toples bulatnya, cewek-cewek berkuncir dua. Asli jadul banget. Nggak ada setitik noda selip kelihatan jaman modern-nya (yo
wis
diedit tho!). Meskipun settingnya cuma itu-itu saja: rumah Gie (kordennya itu loh…), atap yang kelihatan menara mesjidnya, perempatan BATA (aha!), sekolah dan pecinan, tembok (ratapan?) sudah cukup mewakili jadul. Oh, iya, angkotnya boleh juga! Keren!
Sampai sini, masih asyik suguhan untuk matanya. Untunglah Babah Gie nggak begitu keliatan Robby Tumewu-nya. Lalu jreng! Tutie Kirana dengan kebaya merahnya. Hem, salut deh untuk tim artistik-nya!
Di awal-awal film, diceritakan Gie muda yang masih SMP, yang sudah muncul jiwa pemberontaknya, sampai-sampai dia nekad protes sama guru yang dia anggap enggak lebih pintar dari dia. Ternyata… Guru juga manusia…
Lalu berlanjut ke masa kuliah Nico, eh, Gie di UI. Terus terang aku merasa Nico masih terlalu kinclong untuk menjadi Gie, dan disandingkan dengan para figuran mahasiswa UI berwajah jadul. Tapi, yah, kita nggak boleh menghujat Nico karena dia ganteng
kan
? (Tom Cruise aja enggak bisa menanggalkan kegantenganya di The Last Samurai –emang susah jadi orang ganteng, hehehe). Nico, menurutku sudah main bagus. Dia sudah dapet soul-nya Gie. Coba lihat gesture-nya ketika berjalan sebagai Gie, ketika berargumen membela Herman Lantang sebagai ketua senat sastra yang non-partisan, lalu ketika dia ‘rikuh’ saat bersama Maria dan ‘pelacur enggak jelas’. Gie yang gelisah menjelang akhir hidupnya, yang menangis sambil tertawa di depan pagar rumah Maria. Salut untuk aktingnya yang bagus. He is just too handsome!
Sekarang tentang musik. Yep, musiknya cocok banget untuk setiap suasana. Lagu ketika Gie ngapel ke rumah Maria, jadul banget. Lagu genjer-genjer PKI (top bgt!), apalagi lagu Revolution untuk ngiringin demo-nya(semangat Coy!). Trus juga lagu Donna-Donna yang dinyanyiin Sita dengan bagus. Dapet banget tuh ‘nyawanya’! Selain lagu, ilustrasi musiknya juga oke, perhatiin enggak ketika musiknya berubah menjadi kelam saat menginjak tahun 1965? Jadi ingat film PKI-nya Arifin C Noer…
Ada
yang mengganjal neh ketika nonton film ini. Aku tidak bisa tahu dengan jelas, siapa kawan-kawan Gie, sobat politik dan musuh politiknya. Aku tahu dikit-dikit ada Herman Lantang, Aristides, Arif Budiman (kakaknya, Soe Hok Djin). Aku juga sudah membaca ulasan film Gie di majalah dan TV. Eh, tetep enggak ‘ngeh’ mereka-mereka itu siapa. Atau jangan-jangan karena film-nya dipotong-potong yah, trus tiba-tiba muncul tokoh-tokoh baru. Trus katanya tokoh Maria juga gabungan dari tiga tokoh (hah? kok bisa?). Coba kalau ketika kemunculan tokoh-tokoh mahasiswa eksponen 66 itu (yang sampai sekarang masih jadi tokoh di bidangnya), diberi teks perkenalan, nama dan afiliasinya gitu. (hik, cuma usul loh…). Karena, aku aja yang pernah baca Catatan Harian Soe dan sedikit tahu sejarah pergerakan mahasiswa, enggak ‘ngeh’, apalagi mereka, anak-anak kuliahan baru yang sama sekali enggak baca dan cuma pengen lihat Nico?
(Ups, jangan-jangan karena aku nonton tanpa kontak lensku, jadi enggak jelas?)
Ada
lagi neh yang mengganggu pemandangan mata: munculnya Indra Birowo. Bukannya dia main jelek, tapi kok aku tetap merasa dia Indra yang main extravaganza daripada Indra mahasiswa jadul. Hem, cuma Sita yang pas banget jadi Maria. Terus, Si Cantik Wulan Guritno? Menurutku, wajah porselen dan rambut selembut sutranya merusak suasana deh. She is just too beautiful… Kurang jadul gituu!
Oke, sekarang tentang simbol-simbol yang digunakan di film ini. Semua udah kena banget. Mulai dari ikan koi, laut untuk kebebasan, gunung, malam mencekam di Gambir (1 Oktober 1965), wayang untuk menggambarkan pembantaian di
Bali
. Yang kurang ‘kena’ cuma ketika Soekarno tercenung di jendela. Tapi lampu-lampu istana yang padam satu-satu boleh juga.
Endingnya… boleh juga. Mungkin Riri Riza ingin menggambarkan kesedihan dengan liris. Sebuah kematian yang indah, kematian yang membebaskan dari kegelisahan. Huhuhu, puisi Gie untuk Maria bikin terharu… Only the good die young…
Whoa, puas deh nontonnya! Kalau ada piala Citra tahun ini, aku yakin GIE akan menyabet piala untuk seluruh kategori… (kecuali pemeran utama wanita kalee).
Two thumbs for Miles and Riri.
A.K
Comments