REMAJA
Big A lahir 14 tahun lalu ketika saya masih berusia 22 tahun. Tidak mudah mempunyai anak dalam usia yang relatif muda, apalagi masih nyambi kuliah S1. Saya mendukung pernikahan dini, tapi tidak mendukung mempunyai anak terlalu dini. Pasangan dalam pernikahan (dini) akan membantu kita untuk fokus pada tujuan hidup, tapi mempunyai anak sama dengan masuk ke dunia yang sama sekali berbeda, tanggung jawabnya terlalu besar. Dulu saya sering takut salah langkah dalam mengasuh anak.
Karena itu saya terkejut ketika Big A tiba-tiba nyeletuk, "Nanti aku pengen punya anak ketika masih muda, seperti Mama." Deg! Saya mau mendebat, tapi saya tahan dan malah bertanya 'kenapa'. "Biar beda umurnya nggak terlalu jauh, jadi enak bisa diajak ngobrol," jawab Big A. Oh... Selanjutnya Big A bercerita bahwa teman-temannya heran mengapa dia bisa bebas bercerita pada Mamanya tentang apapun, termasuk ketika naksir kakak kelas. "Memangnya teman-temanmu yang lain nggak gitu?" tanya saya. "Terus kalau cerita ke siapa?"
Lalu saya ingat, saya pun tidak biasa cerita secara terbuka pada ibu dan ayah saya sejak kelas 5 SD. Saya dekat dengan Ibu dan cerita, tapi banyak yang saya sensor, karena saya tahu kalau saya ceritakan satu kalimat saja, yang akan saya terima balik adalah nasihat berpuluh-puluh kalimat. Saya tidak ingin seperti itu dengan anak saya. Saya mengajaknya berdiskusi, tidak semata menasihati. Saya mendampinginya memilih bacaan, mematikan TV, memilih tontonan di YouTube, men-skip iklan, meng-google sesuatu, mengidentifikasi hoax dan sarkasme. Saya mengajarinya bersosial media, menulis blog dan men-handle internet (cepat atau lambat). Big A tahu pertama kali tentang sex dari saya (sepengetahuan saya sih).
Kemarin dia mendapat surat dari kakak kelas. Big A tetap nyaman memberi tahu saya. Kami mendiskusikannya sambil tertawa-tawa. Saya berharap, yang seperti ini masih akan bertahan lama, saya dan Nino tetap menjadi sumber utama untuk bertanya dan menceritakan segalanya.
Selamat ulang tahun Big A.
~ A.K.
Comments