Jurus Menulis dari Dee's Coaching Clinic Surabaya
Gaya Dee di Coaching Clinic Surabaya |
Ketika tahu @bentangpustaka akan mengadakan Dee's Coaching Clinic di beberapa kota di Indonesia, saya langsung save the date yang di Surabaya. Makanya saya nyengir-nyengir bahagia ketika ada undangan dari Mbak Avee, bagian promosi Bentang.
Ini 'pertemuan' keempat saya dengan Dee setelah roadshow Supernova di Jogja tahun 2001 (saya masih kuliah di UGM dan masih kurus), promosi Filosofi Kopi di Malang tahun 2006 dan ketika Dee diundang NSW Writer's Centre di Sydney tahun 2006. Sembilan tahun dan sembilan kilogram (saya, bukan Dee) kemudian saya mendapat kesempatan bertemu penulis idola saya ini lagi. Pertemuan kali ini paling intim dan paling memuaskan karena para pesertanya sudah 'satu perahu' di dunia kepenulisan, jadi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bermutu tinggi.
Berikut catatan saya tentang ilmu yang saya dapat dari Dee's Coaching Clinic di Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya, Minggu 29 Maret 2015.
Sebelum hadir di acara ini, para peserta sudah mengirim tiga pertanyaan tentang kepenulisan. Nantinya pertanyaan-pertanyaan ini yang akan dijawab oleh Dee dalam coaching clinic. Dee sudah membagi pertanyaan-pertanyaan dalam tiga kelompok besar, yang harapannya akan terjawab oleh penjelasannya.
Ada ultimate question dari Dheril (yang datang jauh-jauh dari Kediri), "Bagaimana membiasakan diri berpikir kreatif?" Selama ini kita (termasuk saya) menyangka bahwa berpikir kreatif adalah berpikir secara berbeda dari orang lain. Ternyata, menurut Dee, berpikir kreatif adalah memperluas medan kesadaran kita, atau expanding our awareness. Menjadi kreatif adalah bisa menjadi sesuatu yang bukan kita sehari-hari. Misalnya, ketika orang kreatif disuruh menulis dari sudut pandang seekor cicak, dia bisa. Sementara orang yang tidak kreatif akan berhenti pada dirinya sendiri, tidak bisa berpikir dari sudut pandang yang lain.
Dee mengingatkan agar kita tidak perlu membuat cerita yang berbeda dari yang lain, karena perasaan dan masalah yang dihadapi umat manusia adalah universal. Selalu berusaha berbeda dari yang lain malah akan membebani kita untuk menulis. Yang penting, penulis harus punya dua kamera. Yang pertama adalah kamera fungsional untuk menjalani kehidupan sehari-hari seperti memasak, belanja, urus anak, dll. Yang kedua adalah kamera yang mengamati. Modal utama seorang penulis adalah observasi. Hasil observasi ini kita catat dan masukkan ke celengan ide. Segala sesuatu bisa menjadi unik di mata seorang penulis. Menulis adalah proses menggali, sehingga nanti kita bisa menemukan suara unik kita.
"Siapa yang ingin menjadi penulis?" tanya Dee. Tangan-tangan teracung. Sambil tersenyum Dee bilang bahwa cita-cita menjadi penulis adalah impian yang abstrak. Dee mengajak kami semua untuk membuat yang ABSTRAK ---> menjadi KONKRET. Tidak cukup hanya bilang ingin menjadi penulis. Kita harus tahu apa yang ingin kita tulis (genrenya) dan kapan akan selesai. Jeder!
MODAL PENULIS
1. Berpikir kreatif
2. Tekun berlatih
3. Tahu buku apa yang mau dia tulis
4. Punya deadline
Modal menjadi penuis hanya empat hal di atas, menurut Dee. Selain yang disebutkan di atas boleh-boleh saja digunakan sebagai aksesori, misalnya bertapa di Gunung Kawi, punya batu akik, dll :D
Menulis itu seperti melatih otot. Ketrampilan menulis tidak akan kita dapatkan dalam semalam. Menulis perlu latihan dan latihan, sampai kita tahu apa sebenarnya suara unik kita. Apa isu besar yang ingin kita sampaikan? Apa sebenarnya gatal yang tak kunjung usai dalam diri kita? Untuk Dee, 'gatal' dalam karya-karyanya adalah tentang pencarian jati diri, mencari rumah untuk pulang. Contoh lain, tema besar karya Djenar Maesa Ayu adalah masalah seksualitas, sementara Ayu Utami banyak menulis tentang Spiritualisme Kritis.
Dee memberi tip untuk mempersonifikasi IDE agar ide menjadi teman kita dan ide-ide yang liar tidak mengganggu fokus kita menyelesaikan suatu karya. Kadang ide-ide liar muncul ketika penulis sedang berusaha merampungkan karya. Kalau itu terjadi, jangan menutup potensi ide, sebaiknya simpan baik-baik di celengan ide. "Hai, De, kamu Ide yang bagus, aku catat kamu dulu ya, sekarang aku harus menyelesaikan yang ini dulu. Nanti setelah ini selesai, baru giliranmu. Oke ya De?"
Bagaimana kita bisa tahu buku apa yang mau kita tulis? Jawabnya adalah buku yang ingin kita baca banget. BANGET pakai huruf kapital cetak tebal. Misalnya kita suka BANGET membaca novel-novel teenlit, ya genre seperti itu sebaiknya yang kita tulis bukunya. Ketika menulis Perahu Kertas, Dee ingin menulis cerita bersambung seperti yang dia baca di majalah Hai. Ketika novelnya jadi, dia tidak peduli novel tersebut dimasukkan ke genre apa. "Itu urusan penerbit," timpal Dee :))
Modal keempat dan paling penting untuk penulis adalah mempunyai deadline. Deadline akan mengobati macam-macam penyakit seperti rasa malas, nggak mood, ide macet, dan lain-lain. Mau nggak mau tetap harus menulis karena ada deadline. Deadline ini alat agar kita mulai melaju. Dee memberi tip untuk membuat jendela waktu untuk membuat kita disiplin. Misalnya kita luangkan waktu menulis antara jam 8-10 pagi. Waktu menulis bisa disesuaikan dengan gaya hidup masing-masing. Kalau sudah menjadi rutinitas, ide akan telah menjadi teman kita (ingat, personifikasi) akan rajin datang pada jam tersebut.
Dee memberi deadline pada dirinya satu buku setiap satu setengah tahun.
Kecepatan menulis Dee adalah dua halaman sehari. Kita bisa menghitung sendiri berapa halaman atau kata yang perlu kita tulis per hari kalau ingin menerbitkan satu buku dalam setahun. Misal kita punya waktu 5 hari kali 50 minggu dalam setahun (yang 2 minggu libur lebaran, haha) --> 5x 50 = 250 hari. Untuk menulis novel dengan 25.000 kata (150 halaman) selama 250 hari kita hanya perlu menulis 100 kata per hari. Cuma setengah halaman per hari. Gampang? Yang susah disiplinnya, ya nggak?
Lanjut ke pertanyaan-pertanyaan tentang riset. RISET bisa dilakukan dengan:
1. Riset pustaka dan film
2. Riset internet
3. Wawancara
4. Datang langsung
Riset dan penggunaan panca indera penting untuk mendapatkan verisimilitude dalam karya fiksi, yaitu fiksi yang tampak seperti nyata. Bocoran dari Dee, panca indera yang paling kuat adalah indera penciuman. Penggambaran bau akan membawa pembaca terlempar langsung ke setting dalam cerita. Tujuan riset adalah menyisipkan sedikit fakta yang fungsinya untuk menguatkan fiksi.
Break dulu...
Sesi kedua setelah break lebih seru karena membicarakan struktur, yang sangat berguna untuk memetakan tulisan kita dan bisa langsung dipraktikkan untuk yang sudah punya draft tulisan.
GUNANYA PEMETAAN
Menurut Dee ada karya yang perlu pemetaan dan ada yang tidak. Puisi tidak perlu pemetaan. Cerpen juga tidak perlu pemetaan karena untuk berjalan dari
A --> B sudah terlihat ujungnya. Novel lain lagi. Untuk beranjak dari A ke B, perlu pulau-pulau transisi karena jaraknya jauh sekali dan tidak kelihatan ujungnya. Dee menyiasatinya dengan membuat bagan struktur 3 babak.
Dee memberi contoh, untuk membantu memetakan novel terbarunya, Intelegensi Embun Pagi, dia memasang empat karton dan memberi label 1, 2a, 2b, dan 3. Di tiap-tiap karton ditempeli dengan satuan terkecil dari cerita, yaitu adegan. Misalnya 'Bodhi bertemu Elektra', atau 'Bodhi bertemu Alfa' Ooops ;) Adegan-adegan yang di-post it ini bukan harga mati, bisa kita geser atau ganti sesuai kebutuhan. Membuat bagan seperti ini memudahkan kalau kita perlu merombak cerita, daripada harus mengulik-ulik langsung dalam naskah yang sudah ditik.
Dari instagram IG: deelestari |
Untuk naskah lebih dari 20.000 kata, Dee menekankan pentingnya pemetaan. Dari struktur 3 babak, babak 1 adalah pengenalan setting dan pengenalan tokoh. Babak 2 dibagi menjadi dua karena isinya banyak sekali. Babak 2a dimulai ketika si tokoh terlempar dari zona nyaman. Babak 2a ini bisa dikatakan sebagai dunia yang tidak seharusnya, ketika si tokoh melakukan sesuatu yang tidak ideal karena dihimpit keadaan. Babak 2b adalah konflik, antara dunia yang tidak seharusnya ke dunia yang ideal. Babak 3 menjawab pertanyaan-pertanyaan dan penyelesaian. Babak 3 dimulai ketika grafik konflik menurun.
Suatu cerita sebenarnya adalah perjalanan seorang karakter mendapatkan apa yang dia inginkan. Cerita akan mengalir kalau sequence-nya betul, sebab diikuti akibat. Kadang kita sudah terbayang apa yang terjadi di scene akhir tapi tidak bisa menulis di scene tengah. Dee memperkenalkan 'teknik ciprat-ciprat', yaitu menulis dulu apa yang sudah terbayang. Dengan pemetaan, kita tidak akan tersesat. Ada trik untuk membuat cerita berjalan lebih cepat, yaitu dengan menulis dialog. Sementara, narasi bisa dipakai untuk memperlambat cerita.
KARAKTER
Karakter adalah kuli yang akan membopong beban cerita. Tidak ada cerita character driven, karena kita lah yang menentukan cerita, bukan karakternya.
Cara menghidupkan karakter:
1. Punya habit --> kebiasaan
2. Punya keistimewaan
3. Punya kelemahan
4. Beraksi, mau melakukan sesuatu untuk hidupnya
Salah satu trik untuk membuat karakter yang mengundang simpati atau greget pembaca adalah buat si karakter berkorban. Karakter yang berani berkorban akan dengan cepat mendapat simpati pembaca.
Selain jurus menulis, Dee juga bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi dan menceritakan pengalamannya menulis selama ini. Kalau ingin tahu lebih lanjut, bisa membaca di www.dee-interview.blogspot.com
Ketika ditanya apa hambatan terbesar dalam menulis, Dee menjawab: rasa malas. [Lho kok gue banget?] Semua pernah merasakan ini. Transisi yang paling berat dirasakan Dee adalah dari sebelum punya anak menjadi seorang ibu. [Hiks, gue banget]. Tapi dia berhasil melalui semua itu dengan berusaha disiplin. Sebenarnya hambatan terbesar adalah jerat yang kita bikin sendiri, begitu kata Dee. *petir menyambar*
Oke deh Kakak...
Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti coaching clinic ini, banyak ilmu baru yang saya dapat. Dee adalah orang yang menginspirasi saya untuk menulis. Ketika mengikuti talkshow Supernova tahun 2001 di Jogja, saya bertekad untuk menerbitkan buku ketika usia saya 25 tahun, seperti Dee. Impian itu terwujud, tahun 2005 buku saya "I'm Somebody Else" terbit ketika usia saya 25 tahun. Disusul satu teenlit pada tahun 2006, "Dengerin Dong, Troy!" yang diterbitan Gramedia Pustaka Utama. Mengikuti coaching clinic ini, saya seperti di-charge baterainya untuk memulai menulis lagi, dari awal. Jurus menulis Dee akan saya gunakan untuk merombak kembali naskah-naskah setengah matang yang terkubur bertahun-tahun.
Terima kasih Bentang Pustaka, terima kasih Dee Lestari. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Semoga di kesempatan tersebut, Dee mengenali saya karena saya punya karya :) *fingerscrossed*
~ A.K
@adekumala
Bonus #throwback: Dee dan saya di salah satu stasiun Radio di Malang, 2006
Comments
Salah fokus
Seneng ya bisa interaksi langsung dengan Dee, orangnya humble lagi