MOTHER MONSTER



Masih dalam suasana jetlag sehabis liburan, kemarin Lil A (11 tahun) mengalami break down. Di meja makan, saya melihat buku sketsanya terbuka, ada gambar terakhir yang diurek-urek. Anaknya duduk lesu di lantai.
Suara mother monster di kepala saya menggerutu, "Hadeh, drama queen. Opo meneeeeh?" Untungnya suara ini tidak keluar beneran dari mulut saya.
Saya dekati anaknya. "Are you okay?"
Lil A diam saja. "Do you want to tell me what's going on?"
Anaknya masih diam saja. Saya nggak maksa lebih lanjut. Saya tunggu beberapa menit sambil mengerjakan hal-hal lain. Ketika anaknya tidak beranjak dari lantai, saya dekati lagi. "Is there something wrong with your drawing? I just saw your sketchbook..."
Ambyaaar. Lil A langsung mewek. "I don't think I can draw anymore. My drawing becoming worse and worse. Now it's worse than my previous one."
"Oh... Sorry to hear that."
Saya bukan orang yang cakap mengkomunikasikan perasaan. Mengenali perasaan saya yang sebenarnya pun baru bisa saya lakukan setelah dewasa. Sepuluh tahun yang lalu, dalam situasi seperti ini, mungkin saya akan langsung mengatakan, "Ya ampun, gambarnya bagus begitu kok dibilang jelek! Udah bagus itu. Diterusin aja gambarnya. Dah, gak usah nangis!"
Sebagai orang yang nggak bisa nggambar bagus, saya kadang sebal melihat gambaran Lil A yang menurut saya sudah bagus, eh dia urek-urek karena nggak puas. Ya Lord, maunya apa anak ini? Tapi tentu saja ini dari perspektif saya. Berusaha belajar jadi orang tua yang baik, saya mencoba berempati dan melihat dari perspektif anak. Seperti yang juga diajarkan Nino Aditomo pada saya: allow all feelings. Jangan langsung menolak apa yang dirasakan anak, apalagi melarang anak merasa sedih, kecewa, frustrasi, marah, dll. Yang bisa kita lakukan adalah membantu mereka mengelola emosi yang muncul.
"You know, I knew nothing about drawing. Tapi yang kamu rasakan kadang Mama rasakan pas nulis. Kadang Mama merasa tulisan Mama jeleeeek banget."
"I feel I'm not talented anymore. Is it because you guys, my own parents not good at drawing?" Lil A masih terisak.
Mother Monster: Lho lho lho, kok dadi ngene ki piyeeee?
Tahaaaan. Saya ambil napas dulu.
"I don't think that's the case. You know Daddy is actually good at drawing. But... because he doesn't practice his drawing anymore... I think talent is important. But practice is more important than talent alone."
Bla bla bla...
Saya terus menanggapi curhatannya tanpa langsung menentang apa yang dia katakan. Saya bilang kalau menjadi perfeksionis itu penting untuk seorang artist, kalau gampang puas dengan karyanya ya akan mandeg di situ saja. Tapi, kadang perlu juga untuk menghargai dan menerima karya sendiri, lengkap dengan kekurangannya. Sampai akhirnya dia mulai baikan setelah mengeluarkan uneg-unegnya.
"Is there anything I can do to help you feel better?" tanya saya.
Lil A menggeleng.
"Okay. Maybe you can do something else first, playing game or watching what you like. Then you can start drawing again when you're ready."
Lil A mengangguk, dan mulai membuka iPad-nya.
Default setting pribadi saya sebenarnya bukan orang yang mudah berempati pada orang. Aslinya, saya gampang mangkel kalau ada orang yang lebih beruntung daripada saya, tapi masih suka sambat saja. Contoh: orang yang udah langsing tapi mengeluh gendut. Rasane pengen ta' uncali timbangan. Saya juga gampang meledak. Kalau saya nggak dengan sengaja mengelola settingan ini, yang keluar ke anak-anak saya adalah Mother Monster. Jadi biasanya, sebelum saya bereaksi, saya tunggu beberapa detik sambil dengan sadar memikirkan apakah reaksi yang akan saya lakukan ini bisa membantu anak merasa lebih baik. Ini lebih mudah dilakukan dalam situasi tenang, ketika saya kenyang, rumah rapi, kebutuhan saya terpenuhi. Tapi dalam situasi yang kacau, kadang mother monster yang keluar. Yang akhirnya langsung saya sesali, dan saya minta maaf ke anak. Perlu latihan lama untuk bisa berbicara dengan tenang dan menunjukkan empati pada anak. Nggak mudah memang jadi orang tua.
Ketika Nino pulang kerja, saya cerita ke dia. Seperti biasa, dia berterima kasih karena saya sudah 'bicara' pada Lil A. Lalu dia menambahkan kalau akan bilang ke Lil A bahwa yang lebih penting daripada teknik (dalam menggambar) adalah ide. Semua bisa belajar teknik, tapi ide adalah original. Wah, saya nggak mikir sampai ke sana. Tapi itu lah pentingnya punya dua orang tua yang bisa diajak bicara, anak bisa mendapatkan perspektif dan tanggapan yang berbeda, yang memperkaya mereka.
Dari dapur, saya lamat-lamat mendengar Lil A berbincang dengan ayahnya. "You are right, Daddy. I remember You Tube tutorial who said don't worry about putting anything 'bad' in your sketch book. It's not for showcasing your best work only."
Mother Monster: Hadeeeh, kok ra kelingan ket mau pas merong-merong.
Me: Sh*t up, mother monster!
Akhirnya sesorean Lil A menggambar lagi. Ini raw sketch-nya. Gambar jadinya dia pasang di IG: @leilani.art. Yang punya IG boleh nambahin like yaaa :)

Frankfurt, 25/07/2019
heatwave temperature: 38c.

#precilsparenting

Comments

Popular posts from this blog

HIDUP BOLEH SEDERHANA, PENDIDIKAN JANGAN SEDERHANA

Berbunga-bunga Karena Bunga: Catatan Dua Puluh Tahun Bersama

Time Flies When You Put Your Baby at Childcare

Big Announcement

Bahasa Ayesha

Barbie this arvo?

Naik Garuda

BODY SHAMING

Pengalaman Diet Mayo: 13 Hari Turun 4,5 Kg Tanpa Olahraga