MENJADI IBU YANG TIDAK SEMPURNA
Lil A dan hasil masakannya. "Yak, sudah enak." |
Menjadi ibu itu berat. Apalagi ibu zaman sekarang ya, yang kadang dituntut untuk tampil sempurna di sosial media. Sebenarnya ya nggak ada yang nuntut sih. Tapi kadang kita mbatin kalau ada postingan ibu-ibu yang bikin kita iri, bisa masakin bekal anak tiap hari, dibentuk lucu-lucu, anak-anaknya pakai baju tersetrika licin, seragam putihnya tanpa noda berkat bayclin. Sungguh aku kagum padamu ibu-ibuuuu.
Tapi apa benar anak-anak kita membutuhkan sosok ibu yang sempurna? Yang selalu siaga mengerjakan apapun dengan cepat dan tepat, nggak pernah mengeluh, dan nggak pernah salah? Ibu juga manusia kaleee, nggak ada yang sempurna.
Dulu pas jadi ibu muda, saya pun berusaha ikut ‘perlombaan tak kasat mata’ untuk jadi ibu yang sempurna. Hati saya teriris-iris melihat postingan bekal anak unyu-unyu, sementara saya cuma bisa gorengin nugget. Bisa ditebak insekyuriti saya di bidang apa, hahaha. Tapi lambat laun saya sadar kalau perlombaan jadi ibu sempurna ini tidak akan ada akhirnya, ra uwes-uwes. Saya memutuskan untuk undur diri dari arena perlombaan. Semakin lama saya semakin arif untuk menerima kelebihan dan kekurangan saya jadi ibu. Dan secara nggak sengaja saya malah menemukan blessing in disguise dari kekurangan saya.
Sejak dulu saya dicap sebagai yang ‘tidak bisa masak’. Entah sejak kapan cap itu melekat dan menjati jati diri saya. Baru setelah saya bertahun-tahun bergaul dengan sarjana psikologi (hai Nino Aditomo), saya menyadari kalau cap itu sebenarnya nggak bener. Saya bukannya tidak bisa masak atau tidak pinter masak. Hanya saja ibu dan adik saya Dila Maretihaq Sari lebih pinter masak daripada saya.
Di sini lah blessing in disguise-nya. Karena bukan ahli masak saya lebih sabar ketika mengajari anak-anak saya memasak sederhana. Lha wong podho2 raiso-ne. Saya bisa mentolerir kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat anak-anak ketika belajar memasak. Saya bisa sabar ketika anak-anak salah langkah atau ketika petunjuk yang saya berikan disalah artikan. Lha gimana, saya dulu mungkin lebih parah lagi daripada mereka, hahaha.
Ketika saya kanak-kanak, saya tidak mendapatkan kemewahan-untuk-berbuat-kesalahan. Terutama di bidang masak-memasak ini. Padahal berbuat kesalahan itu dua hal penting dalam proses belajar. Yang satunya lagi adalah mengajukan pertanyaan. Jangan salah paham, saya tidak menyalahkan gaya pengasuhan ibu saya. Ibu dan Ayah saya yang masih miskin waktu itu tidak punya cukup waktu dan biaya untuk mentolerir saya berbuat kesalahan. Semua upaya dikerahkan untuk berjuang keluar dari jurang kemiskinan. Ibu saya tidak punya kemewahan untuk membiarkan saya memasak sayur yang cemplang (nggak ada rasanya), lauk yang nggak bisa dimakan, atau nasi yang gosong.
Dengan kondisi saya sekarang, saya bisa lebih santai menemani anak-anak belajar memasak. Bagaimana cara membaca resep dan melakukan langkah-langkah sesuai petunjuk. Saya nggak harus marah-marah kalau krupuknya gosong, nasi gorengnya keasinan, atau bentuk telur ceploknya nggak sempurna. Lil A (10 tahun) punya kemewahan untuk mengulang-ulang cara membuat spaghetti bolognese sampai bisa. Saya juga bisa santai membiarkan Big A (16 tahun) klunak-klunik sendiri di dapur membuat honey soy chicken. Setelah ayamnya mateng, dia tanya gimana rasanya, kurang apa. Ya saya bilang jujur kalau sudah enak, kurang apa juga nggak tahuuuu. Alhamdulillah saya tidak punya standar tinggi di bidang ini, buat saya makanan itu rasanya enak dan enak banget.
Menurut saya, anak-anak sesekali perlu melihat ibunya yang tidak sempurna. Ibu kadang berbuat kesalahan. Nggak perlu terlalu jaim di depan anak. Berbuat kesalahan bukan suatu kejahatan. Saya dan suami saya meminta maaf kalau memang salah di depan anak. Kami pun tidak selalu bisa menjawab semua pertanyaan anak. Kami bilang tidak tahu kalau memang tidak bisa menjawab, dan mengajak anak untuk mencari tahu bersama-sama.
Ketidaksempurnaan membuka ruang untuk belajar.
Kami sekeluarga pindah ke Jerman awal April tahun ini. Setelah sembilan bulan (dan memang sudah bisa ditebak), saya mendapati anak-anak saya lebih pintar berbahasa Jerman daripada orang tuanya. Terutama Lil A yang bisa melafalkan kata-kata baru dalam bahasa Jerman mirip dengan penutur asli. Saya tidak malu belajar dari anak-anak saya. Lil A sering membenarkan pelafalan saya yang medhok banget. Tentu setelah dia secara demonstratif tepuk jidat dan geleng-geleng kepala. Biasanya kalau saya sudah menyerah berlatih melafalkan kosakata bahasa Jerman, saya ganti minta Lil A untuk melafalkan sesuatu dalam bahasa Jawa, bahasa ibu saya. “Coba kamu bilang menthog,” pinta saya. Berkali-kali mencoba, Lil A kurang luwes melafalkan nama hewan ini. Maksimal, dia cuma bisa bilang mentok, atau menthok. Dan kami pun ngakak bersama-sama.
FFM, 23 Desember 2018
Comments