BODY SHAMING
Ayesha dan sahabatnya di sekolah |
Beberapa minggu terakhir ini saya dan Nino mendampingi anak kami, Ayesha (10 tahun) melawan perundungan yang dia terima di sekolahnya. Ini masalah laten sih, bukan cuma sekali ini saja dia jadi korban bullying, dan nggak cuma di sekolah yang sekarang saja (Grundschule di Frankfurt). Saya tulis catatan ini untuk jadi pengingat bagi kita semua.
Perawakan Ayesha memang lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Di Indonesia pun dia sudah paling kecil sekelas. Bisa dibayangkan perbedaan fisiknya dengan anak-anak di Jerman sini.
Suatu hari dia pulang sekolah sambil mewek. Dia cerita kalau ada temannya yang ngejek-ejek dia karena dia kecil. Reaksi pertama saya adalah ikutan mangkel. Ini pertama kali kejadian di sini. Haduh, udah di negara maju kok ya tetap ada beginian. Tambahan lagi ketika Ayesha sebut nama si tukang bully. Saya sampai kelepasan bilang, 'Udah dikasih nama dengan arti bagus gitu kok kelakuannya jahat.' Kedengarannya wajar kan? Tapi sedetik kemudian saya ingat catatan di buku 'The Danish Way of Parenting' yang saya terjemahkan (yang belum baca beli gih 😅). Celetukan saya tadi sudah menghakimi si pelaku bully. Ini tidak menyelesaikan masalah dan malah kesannya tidak apa-apa mengejek balik tukang rundung. Padahal maksud saya sebenarnya hanya ingin agar Ayesha feels good about herself, bahwa dia udah selalu berbuat baik, sesuai nama yang dia sandang.
Hari-hari berikutnya Saya selalu menanyakan perkembangan 'kasus' ini. Tapi Ayesha selalu bilang, 'Nothing to worry about.' Lalu suatu hari Ayesha pulang dengan membawa bendera Indonesia yang dibuat dari beads. Ternyata M (sebut saja begitu ya) yang membuatkan bendera ini untuk Ayesha. 'We are good friends now,' katanya. Saya menarik napas lega. Ah anak-anak memang begitu, kemarin bertengkar, hari berikutnya udah baikan.
Tapi kedamaian ini ternyata tidak berlangsung lama. Dua hari yang lalu Ayesha mewek dalam perjalanan ke sekolah. Kali ini yang dicurhatin Ayahnya. Katanya si M kumat lagi merundung, sampai Ayesha males masuk sekolah.
Nino, seperti biasanya, lebih rasional daripada saya. Setelah mendengarkan cerita Ayesha, dia menjelaskan bahwa apa yang dialami Ayesha adalah body shaming. Ini tidak hanya dialami oleh orang yang badannya kecil, tapi juga orang dengan bentuk badan yang lain. Ayesha kaget, 'Masak yang tubuhnya udah tinggi kena body shaming juga?' Nino menerangkan, semua yang dianggap 'tidak normal' bisa kena body shaming. Bisa karena terlalu pendek, terlalu tinggi, terlalu kriwil, hidung pesek, gigi tonggos, punya freckles, dll. Sesampai di rumah saya juga cerita kalau saya dulu dirundung karena terlalu pendek DAN terlalu putih. Ayesha tambah melongo, 'How come?' Nino menambahkan bahwa si perundung hanya ingin orang tersebut merasa malu pada tubuhnya. 'But why?' tanya Ayesha. 'How could people do such horrible thing?' tambahnya. Kemudian Ayesha menebak sendiri, mungkin di rumah anak ini selalu diejek ya, jadinya di sekolah ngejek teman lain biar merasa lebih baik. Mungkin di rumah dimarah-marahi terus...
Ayesha merasa mendingan setelah tahu dia tidak sendiri menjadi korban perundungan. Nino melanjutkan, 'Should you feel ashamed that you are not as tall as your friends?' Ayesha sudah paham bahwa perawakan tubuhnya yang kecil bukan sesuatu yang membuatnya malu. 'I know I should not be ashamed. But it hurts, Daddy, when he called me that.' Nino berempat, 'I understand what you feel.'
Kami menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan bentuk tubuh kita. Kalau pun ukurannya dianggap tidak normal, bukan sesuatu yang seharusnya membuat kita malu. Ini kami tekankan pada Ayesha karena tahu bahwa perundungan ini mungkin akan terjadi lagi di masa depan. Yang penting Ayesha mengerti bahwa yang dilakukan pembully itu salah, dan seharusnya mereka yang merasa malu. Nino juga pernah tanya, kenapa kira-kira teman sekelasnya itu body shaming ke dia. 'Maybe he's jealous because you are smart in class?' Ayesha mengiyakan, 'It could be.' Nino bilang, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Nggak usah malu mengakui kekurangan, dan bersyukur lah pada kelebihan yang kita punyai.
Tidak ada rumusan baku untuk menghadapi perundungan seperti ini. Dan kasus seperti ini juga bukan yang akan langsung selesai dalam satu waktu. Ini langkah-langkah yang kami lakukan:
1. Dengarkan cerita anak
Sampaikan kalau Anda senang bahwa si anak mau bercerita pada Anda. Dengarkan sampai selesai, jangan ikut emosi duluan 🙈
2. Berikan empati, jangan meremehkan
Kalau anak menangis, biarkan dia mengeluarkan emosinya. Jangan meremehkan, 'Duh, cuma gitu aja nangis.' Sekali anda meremehkan apa yang dirasakan anak, dia nggak akan cerita/percaya lagi sama ortunya.
3. Bantu anak untuk menguraikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menghadapinya. Beri dia sikap positif terhadap dirinya.
4. Kalau terjadi perundungan fisik atau perundungan verbal yang parah, dorong anak untuk membicarakan dengan gurunya.
Perkembangan terakhir, kemarin sepulang sekolah saya tanya Ayesha lagi. Dia bilang, 'Just a regular thing. Whatever he is doing is not significant to me anymore.'
Frankfurt am Main, 20.11.2019
Comments