Profesi Kita, Impian Yang Hidup

Suasana di kelas. Foto oleh Adiar Ersti
"Kita ini orang-orang gila yang kurang kerjaan," kata Bu Ita Guntari, financial planner yang duduk di sebelah saya di briefing Kelas Inspirasi Surabaya. Celetukan beliau diamini oleh Bu Astrid Wiratna, psikolog RS Siloam, yang tertawa lebar di kursi di belakang saya.

Kami termasuk ratusan orang yang menyambut tantangan "mengajar sehari" di SD negeri, untuk menginspirasi mereka tentang profesi yang kita geluti. Tadinya saya merasa nggak pede, saya kan nggak sukses-sukses amat, profesi saya 'cuma freelancer'. Tapi kalimat itu bagaikan lampu menyala di atas kepala saya. Justru itu, Cyin! Anak-anak ini perlu diberi wawasan kalau kita bisa kerja kreatif dari mana saja, tidak perlu masuk kantor, tidak harus kerja di jam tertentu, bisa sambil tetap momong anak, dan nggak peduli kita lulusan apa asal punya keahliannya. (alasan yang terakhir semacam curcol!). Trrrrriiiiiiing!!! Saya putuskan mengisi formulir, mendaftar ikut Kelas Inspirasi Indonesia Mengajar di hari terakhir.

Begitulah, sebelum terjun langsung, "orang-orang kurang kerjaan ini" diberi briefing, bekal untuk 'menjinakkan' murid-murid SD :) Saya terkesan sekali oleh sambutan singkat Kepala Sekolah Ivy School (tempat briefing diadakan), Bu Yulia. Beliau berkata, kami ini impian yang hidup. Bagi anak-anak yang baru bisa membayangkan besok mau jadi apa, kami ini contoh nyata cita-cita mereka. 
SD Kedung Cowek I, tempat kelompok kami mengajar, terletak di ujung Timur Laut Surabaya, kira-kira 500 meter sebelum jembatan Suramadu. Meski di pinggir jalan raya, sopir taksi jarang yang tahu lokasi ini. Saya sampai pegal menunggu pesanan taksi pulang ketika selesai mengajar. Kelas yang akan saya ajar 5B, muridnya 52 orang satu kelas, gurunya satu. Wah, tidak bisa saya bayangkan menjadi guru single fighter di sini SETIAP HARI. Luar biasa dedikasi para guru SD Negeri. Di kelas anak saya (SD Alam), jumlah siswa di kelasnya 25 orang, itu pun gurunya dua :) Saya sempat bertanya apa latar belakang keluarga mereka. Bu guru kelas bilang kebanyakan mereka berasal dari Madura, dengan orang tua penggarap tanah, buruh tani (bukan pemilik lahan), pedagang asongan, pedagang kaki lima, tukang becak, kernet, sopir, dll. Sebagian besar dari golongan ekonomi lemah.

Setelah survey ke lokasi, saya mulai membuat rencana mengajar. Untuk menjinakkan 52 murid ini, saya akan membuat video klip tentang Penerbit Bentang Pustaka, tempat saya bekerja paruh waktu sebagai editor dan penerjemah lepas. Beruntung saya punya adik filmmaker di Jogja, yang bisa disuruh-suruh, hehe. Irham saya mintai tolong membuat footage tentang suasana kerja di penerbitan, lengkap dengan wawancara dengan editor-editor kece: Kak Intan dan Kak Susan. Doco sederhana ini semakin hidup dengan celoteh Kak Dila sebagai presenter :) Film pendek ini saya edit dengan iMovie, diberi musik biar nggak membosankan.

Akhirnya hari inspirasi itu tiba. Saya bangun pagi-pagi sekali, mandi, dandan, membawa buku-buku yang saya tulis dan buku-buku contoh dari penerbit Bentang. Jam enam kurang saya sudah duduk manis di taksi, mampir ke minimarket membeli susu kotak untuk sogokan ke anak-anak. Kalau mereka tidak suka dengan kelas yang saya ajar, setidaknya mereka memaafkan saya setelah saya beri susu, hehe. Duh, betapa ribetnya bangun pagi dan meninggalkan rumah sebelum anak-anak saya sendiri siap ke sekolah. Saya pikir memang benar-benar "cari perkara".

Setengah tujuh, saya sudah tiba di sekolah, mencoba berbaur dengan murid-murid saya, yang memandang dengan heran nan curiga. "Iki sopo tho?" begitu mungkin pikir mereka. Saya buka lapak dengan meletakkan laptop, buku-buku, CD dan DVD Laskar Pelangi, yang akan saya gunakan sebagai intro ke materi saya.

Setelah bel berbunyi, saya minta izin Bu Tutik, guru kelas ini untuk meminjam kelasnya. Mas Arif, salah satu panitia yang bertugas mendampingi kami di SD ini dengan sigap menyiapkan peralatan. Saya beruntung dipinjami laptop dan proyektor oleh Mas Arif. Begitu proyektor menyala dan menyorot white board, adik-adik kelas lima ini mulai bersemangat. Di slide pertama saya tulis: "Halo, namaku Ade. Boleh nggak kenalan dan tahu cita-cita kalian?"

Saya ajak mereka berkenalan, dengan menempelkan stiker nama mereka di dada. Lalu saya tanya satu-satu cita-cita mereka. Seperti yang saya duga, cita-cita atau disempitkan lagi sebagai profesi yang diimpikan anak-anak adalah yang biasa mereka lihat sehari-hari, yang dekat dengan kehidupan mereka. Cita-cita mereka tidak banyak bervariasi, yang tertinggi adalah guru, kemudian dokter, disusul polisi dan polwan. Ada beberapa anak yang percaya diri menyebut pemain sepakbola atau pemain badminton. Satu anak ingin menjadi profesor dan hanya satu anak yang ingin menjadi pekerja seni sebagai pelukis. Saya bilang ke Gani, anak laki-laki bongsor yang duduk di pojok, cita-citanya bagus! Hebat dia berani berbeda dengan teman-temannya. Diam-diam saya lega semua anak di kelas ini mempunyai cita-cita, dan cita-citanya lebih tinggi daripada orang tua mereka. Saya lega tidak satu pun yang hanya ingin menjadi buruh tani, atau pedagang asongan. 

Tapi tidak ada yang ingin menjadi penulis, editor atau penerjemah seperti saya. Barangkali mereka memang tidak pernah mendengar ada profesi semacam ini. Saya lah yang bertugas meluaskan wawasan mereka, meninggikan batas impian mereka. Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Saya lah yang bertugas meluaskan langit kedung cowek tempat mereka tinggal.

Setelah tahu nama dan cita-cita mereka, aku ajak adik-adik bernyanyi Laskar Pelangi. Pertama-tama mereka cuma diam atau bergumam. Mungkin mereka kagok karena jarang nyanyi-nyanyi di kelas. Tapi setelah saya bernyanyi dan bergoyang, adik-adik mulai ikut mendendangkan chorusnya. Mungkin untuk menutupi suara saya yang sember :D

Lagu Laskar Pelangi ini cuma pancingan saja. Saya tanya ke mereka: "Siapa yang pernah nonton film-nya?" Tangan-tangan mungil teracung. Lalu saya beri tahu mereka kalau cerita di film ini diadaptasi dari buku. Lalu saya tanya lagi, "Siapa yang pernah baca bukunya?" Tidak ada yang mengangkat tangan. Saya bertanya lagi, "Siapa yang tahu, film apalagi yang diadaptasi dari buku?" Ada yang menjawab 'Harry Potter'. Bagus! Ketika saya tanya siapa yang sudah nonton filmnya, tangan-tangan teracung. Tapi ketika saya tanya siapa yang pernah membaca bukunya, adik-adik cuma tertawa :)

Begitulah, adik-adik ini bukan dari lingkungan yang terbiasa membaca buku cerita. Dari pancingan Laskar Pelangi, sesuatu yang mereka kenal, saya mulai bercerita tentang penerbitan, melalui media film pendek. Adik-adik serius menyimak film pendek ini. Saya tahu karena mereka bisa menjawab pertanyaan saya sesudahnya. Mereka jadi tahu cara kerja penerbitan dan profesi apa saja yang bekerja di penerbitan, mulai dari CEO, pimred, editor, ilustrator, lay outter, keuangan, promosi, dll. Kemudian, waktunya tebak-tebakan. Dari sekian banyak profesi yang ada di penerbitan, sebutkan 3 profesi yang saya geluti! 

"Yang jawab benar dapat hadiah," bujukku. Lalu ada yang nyeletuk, "Hadiahnya sepeda motor, Kak?" Hehehe, you wish :p Ada yang menebak aku bekerja jadi CEO (amin!), di bagian promosi atau sebagai editor. Akhirnya anak bernama Imam bisa menebak dengan tepat 3 profesiku. Lalu saya melanjutkan bercerita tentang profesi itu satu demi satu.


Semangat mengerjakan Kuis. Foto oleh Adiar Ersti
Bersama Bu Tutik guru kelas dan sebagian adik-adik kelas 5B.
Foto oleh Syerly Ade.

Yang menarik, ketika saya bercerita tentang konsep kerja jarak jauh. Adik-adik ini masih ingat bahwa kantor penerbit Bentang ada di Jogja, sementara saya tinggal di Surabaya. Saya lontarkan pertanyaan: "Ada yang bisa menebak, bagaimana cara Kak Ade bekerja?" Suasana kelas menjadi riuh sekali, semua ingin menjawab. Ada yang bilang dengan naik mobil, naik kereta api, atau naik pesawat terbang. Saya jawab: "Naik kereta api perlu lima jam lho dari Surabaya ke Jogja, apa nggak capek tuh? Naik pesawat terbang lebih cepat, tapi tiketnya kan mahal? Naik mobil? Sayangnya Kak Ade nggak bisa nyetir." :D Konsep kerja jarak jauh tanpa perlu masuk kantor ini masih baru untuk mereka. Ketika saya bilang saya tidak perlu ke Jogja untuk ngantor, mereka melongo. Lalu saya bilang kalau pekerjaannya saja yang saya kirim. "Kira-kira, Kak Ade kirim pekerjaan dengan apa, Adik-Adik?" Kelas riuh kembali. Ada yang menjawab dengan pos, dengan paket, dititipkan travel, dititipkan kereta api. Ketika saya masih geleng-geleng kepala, ada yang nyeletuk, "Pakai merpati!" Hahaha. I really enjoyed this. Rupanya konsep mengirim file dengan email belum ada di kamus mereka. Tapi ketika saya tanya apakah mereka tahu internet, mereka mengangguk mengerti. Saya ceritakan, semua pekerjaan tinggal saya kirim via email. Honor pekerjaan juga dikirim lewat transfer bank. Jadi saya tidak perlu bertemu dengan Kak Intan, Kak Susan maupun Kak Dila. Saya bisa kerja dari mana pun di seluruh dunia. Termasuk dari Hong Kong :p

Saya juga membuat kuis untuk kegiatan kelas, agar mereka tidak bosan mendengarkan ocehan saya. Yang pertama, saya ingin mereka langsung mencoba menjadi editor. Saya beri soal satu paragraf pendek untuk mereka perbaiki. Mulai dari memperbaiki salah ketik (typo, baby!), mengganti huruf besar, penggunaan tanda hubung, dll. Kejutan! Sebagian besar dari mereka bisa mengerjakan editan ini. Saya katakan kalian semua pinter-pinter, masih SD sudah bisa mengedit cerita. Saya akan cerita ke Kakak-kakak editor di Bentang kalau kalian bisa bekerja di sana. Senyuman bangga bermunculan, wajah mereka berseri-seri. 

Kuis kedua, saya tantang mereka untuk menerjemahkan. Saya ambilkan satu paragraf pendek dari buku anak-anak yang saya terjemahkan. Saya juga beritahu kamus kata-katanya. Untuk yang satu ini, mereka masih kaku dalam menerjemahkan, masih kaku dan belum luwes. Mungkin juga masih takut untuk mengganti atau menghilangkan kata yang tidak perlu. Tapi paling tidak, adik-adik ini berani menerjemahkan. Saya katakan, jangan takut dengan bahasa Inggris. Kalau kita belajar, pasti bisa kita kuasai.

Kuis ketiga yang paling menarik: menghitung royalti dan honor! Saya menggelitik otak mereka dengan 3 pertanyaan hitung-hitungan sederhana. Ada yang menjawab dengan benar, tapi banyak yang belum bisa menghitung dengan jumlah sampai jutaan. Saya katakan ke adik-adik, "Kak Ade nggak mau dong kalau dapat royaltinya cuma lima ribu, maunya lima juta." So true, hahaha.

Akhirnya satu jam lebih sepuluh menit sudah berlalu. Saya kehabisan napas, tapi gembira dengan antusias adik-adik menjawab pertanyaan saya. Setidaknya kehadiran saya yang cuma sejam ini bisa membuka wawasan adik-adik, meninggikan batas cita-cita mereka yang tadinya hanya mengenal profesi yang berhubungan langsung dengan mereka sehari-hari. Sebelum kelas saya tutup, saya mengajukan pertanyaan terakhir. "Sekarang, siapa yang ingin menjadi penulis?" Adik-adik berpandang-pandangan dengan teman sebangkunya, lalu tangan-tangan mulai teracung. Kira-kira ada sepuluh anak yang ingin jadi penulis. "Siapa yang ingin jadi editor?" Lebih banyak lagi tangan-tangan teracung. "Siapa yang ingin jadi penerjemah?" Giliran tangan-tangan mungil di barisan depan teracung. Yang terakhir, "Siapa yang ingin jadi ilustrator buku?" Pelan tapi pasti, di pojok sana, tangan bongsor milik Gani teracung.


Kenang-kenangan dari kami untuk para guru
Foto bareng, versi gaul :p
A.K.

With thanks to kelompok 6 SDN Kedung Cowek I yang kece-kece: Mas Arif, Ecci, Mehdia, Syerly Ade, Pak Hadi, Mbak Evy, Zarah dan Pak Aryo.

Comments

Seru sekali pengalaman mbak Mala yg satu ini.. heheee... semoga mereka bisa menggapai semua cita-cita :))
Dewi Rieka said…
Aku pengeeen tp ndredeg tampil di depan hihi *norak, Insya Allah mg2 taon dpn ada kesempatan aamiin...
Unknown said…
Mba Ade :) Semangat saya semakin meluap-luap membaca postingan Mba..
Saya juga editor dan sedang tunggu pengumuman dari kelas insprirasi..
Semoga saya bs gabung tahun ini, amin :)
Unknown said…
Memang seru membaca kisah pengalaman mengajar para volunteer di kelas inspirasi. Alhamdulillah akhirnya juga bisa merasakan hal yang sama di KI Padang tanggal 21 Agustus yang lalu.

Catatan yang keren, salam kenal ya dan semoga kita semua bisa terus membantu untuk menyalakan lilin2 kecil yang akan menjadi penerang bagi jalan tercapainya mimpi2 anak Indonesia...
Fita Chakra said…
Nice story. Kepingin ikutan, mudah-mudahan ada kesempatan :)
Lee sunshine said…
pengalaman mbak ade luar biasa ya
jd pengen ikut kelas inspirasi tp kyknya gk ada deh di medan
iluhbuleleng said…
seru banget mbak!! malah saya juga ikut terinspirasi karena mbak :D
saya juga pengen jadi editor kayak mbak deh :D
titip link tulisan-tulisan saya, http://amazusa.blogspot.com/ , kali aja bisa beruntung dapet masukan dari mbak langsung :D
nurul rahma said…
Mbak Adeeee... Makin ngefans deh, dengan si Emak di Traveling Precils ini.

Kita pernah ketemu satu kali di Hotel Artotel Sby, tapi karena mbak Ade duduknya rada jauh dari aku, dan aku juga sungkaaaan, minderrrr banget, ya sud, kita belum sempat chit-chat :(
Unknown said…
Keren cerita pengalamannya, sangat menginspirasi cara pandangnya :)
Unknown said…
Keren cerita pengalamannya, sangat menginspirasi cara pandangnya :)

Popular posts from this blog

Lakemba Library

27

Kiriman Tak Sampai

Harness

Be Careful What You Wish For

A New Year, A New Address

My Job as a Job Seeker

Score!

Husband for Share (another story)