Jumpa Melina Marchetta

Me with Melina Marchetta herself
Novel Looking For Alibrandi adalah teenlit pertama yang saya baca, sekitar tahun 2004 ketika teenlit mulai booming di Indonesia. Novel ini sangat bagus, baik dari segi cerita maupun gaya penulisan. Tokoh utama dalam novel tersebut, Josie Alibrandi adalah gadis pemarah, karakternya ditulis dengan sangat hidup oleh Melina Marchetta (baca: Marketa). Saya langsung jatuh cinta pada novel ini dan pada penulisnya. Novel ini saya jadikan standar novel teenlit yang bagus, sehingga seringkali saya harus kecewa membaca novel-novel teenlit yang lain. 
Tidak berlebihan kalau kemarin saya senang luar biasa bisa ‘bertemu’ dengan Melina Marchetta herself. Melina merupakan tamu dalam talkshow yang diadakan dalam rangkaian Sydney Writers Festival 2010. Selain Melina, hadir juga David Levithan, penulis novel young adult (teenlit) bertema gay. Talkshow ini dipandu Judith Ridge, jurnalis ABC.
Jauh-jauh hari sebelum acara ini saya sudah ‘pesan’ ke suami untuk jagain anak-anak. Maunya ini adalah ‘me time’ saya. Cuma setahun sekali saya bisa ikut ‘kuliah’ penyegaran tentang dunia buku atau kepenulisan. Apalagi kali ini pembicaranya penulis idola saya, jadi saya harus hadir!
Talkshow diadakan di Sydney Dance Company di Walsh Bay, dekat jembatan Sydney yang itu tuh. Untuk masuk acara ini tidak perlu bayar, tapi harus antri setengah jam sebelum acara dimulai. Ketika kapasitas kelas sudah penuh, pintu akan ditutup. Ketika saya memasuki ruangan, kedua pembicara dan moderator sudah hadir. Ruangan cepat sekali penuh dan acara dimulai tepat pukul 2.30 sore.
Pertama, mereka berbincang tentang karakter yang ada di novel. Melina baru saja merilis buku kelimanya berjudul The Piper’s Son. Tokoh utama dalam novel ini, Tom Mackee, adalah cowok pemarah usia 21 tahun. Tokoh ini pernah muncul di novel Melina sebelumnya: Saving Francesca. Ketika menciptakan tokoh ini di Saving Francesca, Melina adalah guru Bahasa Inggris di sekolah menengah. Dia mengamati karakter murid laki-lakinya di Year 10, yang menurut dia “unlikeable”. Remaja laki-laki seumuran itu memang labil, pembangkang, gampang marah, pokoknya ‘me against the world’. Melina mengakui sedikit kesulitan ketika memunculkan lagi tokoh Tom yang sekarang berusia 21 tahun. Dia harus mengembangkan karakter itu dari yang dulunya berusia 16 tahun ke usia 21 tahun.    
Novel The Piper’s Son bercerita tentang rasa kehilangan (grief) orang terdekat. Paman Tom bernama Joe adalah korban London Bombing tahun 2005. Sementara Kakeknya adalah korban perang Vietnam. Jazad keduanya tidak pernah pulang. Keluarga melakukan upacara penguburan tanpa jenazah. Novel ini berkisah bagaimana Tom dan keluarganya menyikapi perasaan kehilangan mereka.
Ide cerita ini muncul ketika Melina menyaksikan film dokumentasi di ABC: Australian Stories. Saat itu ditayangkan ‘penemuan’ jazad tentara Australia yang tewas di perang Vietnam, yang akan dikembalikan ke keluarganya. Saat itulah tokoh Tom Mackee muncul dan duduk bersamanya di sofa. Tom menunjuk televise dan berkata pada Melina: “Itu keluargaku!” Ketika menceritakan ‘pengalaman mistis’ nya ini, Melina sedikit enggan. Dia sangat percaya bahwa menulis adalah proses yang memerlukan kerja besar, bukan semata-mata mendapat ilham yang jatuh dari langit. Tokoh Tom Mackee sudah lama ‘tinggal’ di kepalanya ketika tiba-tiba dia melompat keluar dan mendatanginya.
Salah satu nasehat penting yang saya catat dari talkshow kemarin adalah: tinggalkan tulisanmu kalau memang tidak berhasil. Kunjungi lagi nanti. Melina mengaku tidak suka dengan nasehat ini, tapi menurutnya ini adalah nasehat yang bijak dan berhasil dia laksanakan. Ketika berusaha menulis tokoh Tom Mackee, Melina merasakan kebuntuan dan akhirnya dia tinggalkan. Kemudian dia menulis On The Jellicoe Road dan Finnickin of The Rock. Baru setelah buku itu selesai, dia mulai lagi menulis Tom Mackee yang akhirnya menjadi The Piper’s Son. Novel pertama yang mencoba dia tulis sebenarnya adalah On The Jellicoe Road, jauh sebelum dia menulis Looking for Alibrandi. Dia mengaku gagal menyelesaikan naskah tersebut. Namun 13 tahun kemudian dia mencoba menuliskan lagi, dengan tokoh yang sama, tapi dengan cerita yang sudah berbeda dari draft awal.
Menjawab pertanyaan apakah penulis novel untuk pembaca anak muda mempunyai tanggung jawab untuk menuliskan tema-tema tertentu, Melina mengatakan penulis sama sekali tidak perlu bertanggung jawab untuk menuliskan atau mengkampanyekan tema tertentu. Menurutnya, penulis seharusnya bisa menulis apapun yang dia inginkan, seperti pengalamannya bahwa tokoh-tokoh dalam ceritanya ‘datang ke dia’. Menurut Melina, novel yang ditulis dengan tujuan mengusung isu tertentu malah akan membunuh cerita dan biasanya membosankan. Diakuinya, dalam novel-novelnya memang muncul isu-isu tertentu, namun itu sekedar buah dari pengalaman yang didapat si tokoh, seperti isu asimilasi imigran di Alibrandi, menghadapi depresi di Saving Francesca, dan isu grief korban terorisme dan perang di The Piper’s Son. Dia mengingatkan calon penulis untuk tidak takut menulis tema apapun yang sepertinya ‘sudah ditulis’ oleh penulis lain. Menurutnya, dari tema yang sama, masih banyak kisah lain yang belum dituliskan.
Masih banyak kisah behind the novel yang dibincangkan selama kurang lebih satu jam dalam talkshow. Semua begitu menarik dan menginspirasi saya, apalagi keluar dari mulut Melina yang memang selalu serius bekerja dengan tulisannya. Selanjutnya, saya ikut antri untuk mendapatkan tanda tangan Melina di buku terbarunya. Waktu itu saya deg-deg an dan seneng banget, seperti layaknya fans yang ketemu idola (ya emang!). Ketika berhadapan dengan Melina, saya bilang bahwa saya baca Looking for Alibrandi pertama kali dalam terjemahan bahasa Indonesia dan bahwa banyak orang Indonesia yang suka dengan karyanya. Novel itu adalah satu dari novel terbaik untuk remaja di Indonesia. Oke, mungkin memang banyak kalimat lain yang lebih ‘pinter’ daripada itu, tapi yah, itulah yang keluar dari mulut saya (sambil gemetaran tentu saja, hehe). Melina bilang "It must be a great work the translation is," -- or something like that (kupingku terasa panas siy, hihi). Tak lupa saya minta foto bareng dengannya. Setelah itu saya tahu diri untuk pergi karena masih banyak orang yang antri tanda tangannya.
Ah, mungkin lebih baik saya lanjutkan novel-setengah-jadi saya sekarang, mumpung kepala ini masih penuh inspirasi.
A.K.  

Comments

Dina Mama 2F said…
lama gak Ol ya mba??? ayo cepet dikebut novelnya , penasaran aku pgn baca
waduhh... sampe merinding aku mbak...
Leila Niwanda said…
TFS Mbak, banyak pelajaran menarik di sini...
ade kumalasari said…
doain yaa... ini setengah matang, eh, setengah jadi. btw, aku sekarang nongkrong nya di twitter.
ade kumalasari said…
kadang aku juga kayak gitu loh, si tokoh tiba2 mampir ke rumah nemenin makan. hiii, syerem ya?
ade kumalasari said…
no worries.
hihihihi.... suka minta menu khusus nggak makannya? atau jangan-jangan minta uang saku juga?

haduhh... ;))
ade kumalasari said…
kalo udah mulai nyebelin, aku bilang, "Go back to my head, NOW!" hehehe
ade kumalasari said…
kalau udah mulai nyebelin, aku bilang, "Go back to my head, NOW!" hehehe.
ade kumalasari said…
no worries
Sri Agustina said…
Sepertinya novel the Piper's Son seru mbak..heheh..di Indonesia dah ada lom ya? :D
ade kumalasari said…
baru rilis di sini. mungkin nanti akan diterjemahkan Gramedia, tunggu aja.

Popular posts from this blog

Memulai Investasi Reksadana

Live The Dream

Fitnes, Penting Gak Sih?

"LHO MASIH KECIL KOK SUDAH KELAS 2?"

Love at Every Byte

Kiriman Tak Sampai

Penulis Kurang Gizi

Testimonial

The Drama