Nomaden
Sejak dulu saya merasa memiliki jiwa petualang. Ya, hanya karena bintang saya Sagitarius. Tapi jiwa saya yang ini jarang diberi makan. Dua puluh tahun pertama dalam hidup saya, saya habiskan di sebuah desa kecil yang jarang tercantum di peta. Selama dua puluh tahun pula, saya berlebaran di tempat yang sama.
Untungnya Tuhan mengirimkan lelaki ini untuk mengajak saya melihat dunia.
Sembilan tahun sudah hidup saya berpindah-pindah, dari Jogja (kota kesayangan), ke Sidoarjo (kota yang membuat hidup saya merana), lalu ke Malang, Sydney dan Surabaya. Setiap lebaran, kami juga 'wajib' keliling Jawa Tengah: Solo - Semarang - Batang - Pekalongan - Magelang.
Saya senang mengunjungi tempat-tempat baru dan menikmati hal baru yang menantang. Tapi kadang jiwa saya lelah. Kadang saya sedih melihat Anindya kesulitan beradaptasi. Kadang saya ingin punya tetangga permanen yang baik hati. Kadang saya malas harus menjalin hubungan dengan orang-orang baru (saya orangnya soliter di dunia nyata). Kadang saya ingin ikut arisan tanpa alasan 'maaf, tahun depan saya sudah pindah'.
Kira-kira tiga bulan lagi kami kembali ke Sydney (kota kesayangan nomor dua setelah Jogja). Saya tidak bisa menolak kecantikan dan kerapian Sydney. Saya juga rindu harum kopi di pagi hari dan macam-macam festival tiap bulan.
Kalau begini, saya harus mengubur kembali impian mendekorasi dan menempati rumah kami yang hampir jadi. Kalau begini, saya hentikan saja program belajar mencintai Surabaya yang panas ini.
Nggak papalah hidup nomaden untuk sementara, asalkan dia tidak mengharuskan saya berburu dan meramu, atau tinggal di goa.
A.K.
Untungnya Tuhan mengirimkan lelaki ini untuk mengajak saya melihat dunia.
Sembilan tahun sudah hidup saya berpindah-pindah, dari Jogja (kota kesayangan), ke Sidoarjo (kota yang membuat hidup saya merana), lalu ke Malang, Sydney dan Surabaya. Setiap lebaran, kami juga 'wajib' keliling Jawa Tengah: Solo - Semarang - Batang - Pekalongan - Magelang.
Saya senang mengunjungi tempat-tempat baru dan menikmati hal baru yang menantang. Tapi kadang jiwa saya lelah. Kadang saya sedih melihat Anindya kesulitan beradaptasi. Kadang saya ingin punya tetangga permanen yang baik hati. Kadang saya malas harus menjalin hubungan dengan orang-orang baru (saya orangnya soliter di dunia nyata). Kadang saya ingin ikut arisan tanpa alasan 'maaf, tahun depan saya sudah pindah'.
Kira-kira tiga bulan lagi kami kembali ke Sydney (kota kesayangan nomor dua setelah Jogja). Saya tidak bisa menolak kecantikan dan kerapian Sydney. Saya juga rindu harum kopi di pagi hari dan macam-macam festival tiap bulan.
Kalau begini, saya harus mengubur kembali impian mendekorasi dan menempati rumah kami yang hampir jadi. Kalau begini, saya hentikan saja program belajar mencintai Surabaya yang panas ini.
Nggak papalah hidup nomaden untuk sementara, asalkan dia tidak mengharuskan saya berburu dan meramu, atau tinggal di goa.
A.K.
Comments
Senangnya bisa balek ke Sydney, mudahan suatu ketika aku juga bisa menjejak Australia :-p
O iya, masih bikin novel kan Mba???