Dewi Lestari dan Saya
Saya pertama kali 'mengenalnya' ketika Dewi Lestari alias Dee datang ke Jogja mempromosikan buku pertamanya: Supernova. Terbitnya buku ini membuat heboh dunia perbukuan Indonesia. Salah satunya karena penulisnya adalah penyanyi. Artis kok berani-beraninya nulis buku, begitulah kira-kira komentar orang. Tapi saya langsung jatuh hati pada kenekatannya. Maklum, waktu itu tidak ada karya sastra lain selain dari penulis angkatan tua. Zaman booming penulis-penulis muda masih jauh sekali. Buku Dee yang nekat dia edarkan sendiri memberi warna sekaligus mendobrak bahwa semua juga boleh berkarya.
Ternyata ada yang lebih nge-fans sama Dee daripada saya. Waktu itu, dia masih menjadi calon pacar saya. Orangnya melankolis perfeksionis, jarang nge-fans sama seseorang, apalagi artis. Serta merta saya cemburu. Dia mengagumi Dee yang berani menerbitkan buku pada usia sangat muda waktu itu (usianya 24). Waktu itu tahun 2000, usia saya 20 tahun. Kami termasuk dalam panitia salah satu diskusi Dee yang digelar di Jogja. Kami juga mengikuti diskusi Dee di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) di jalan Sagan. Di sana, Dee memberi bonus menyanyikan lagu Out of Shell diiringi dentingan piano. Suaranya menggetarkan hati orang-orang, saya, dan calon pacar saya itu. Saya semakin terbakar cemburu dan dalam hati saya berjanji akan menerbitkan buku lima tahun lagi (saya tahu diri saya tak mungkin menyanyi).
Tuhan Maha Mengabulkan, buku pertama saya terbit saat usia saya 25.
Kali kedua saya bertemu Dee sewaktu dia mempromosikan buku Filosofi Kopi di Malang. Saya menjumpainya di salah satu stasiun radio di Malang. Dee membawa serta Keenan dalam gendongannya. Kami berbincang sembari dia menyusui Keenan. Saya bawa semua koleksi buku Dee:Supernova, Petir, Akar dan Filosofi Kopi. Saya mintakan tanda tangan. Dee histeris ketika tahu saya menyimpan Supernova edisi hemat. "Ini sejarah," katanya.
Ketiga kalinya, saya 'memburu' Dee di Sydney ketika dia menghadiri diskusi penulis Indonesia di NSW writer centre, bersama Richard Oh. Dee datang bersama Marcell yang 'sembunyi' di ruang belakang. Sayangnya, saya bukan tipe yang berani sok kenal dengan seleb, dan -sayangnya- handphone saya tidak bisa untuk memotret.
Cerita saya tentang Dee berlanjut kemarin ketika saya berulang tahun. Nino memberi saya hadiah buku RECTO VERSO, lengkap dengan CD nya. Saya tahu saya akan memperoleh buku, karena itu memang tradisi ultah kami, tapi saya tak menyangka Nino memilih buku Dee untuk saya, mengingat buku ini tidak murah dan 'harus' dibeli dengan CD nya kalau ingin menikmati sensasinya dengan sempurna.
Hadiah ulang tahun yang indah, yang juga melayangkan ingatan saya pada sembilan tahun lalu, ketika dia masih menjadi calon pacar saya.
A.K.
ps: kapan ya saya bisa 'duduk semeja' dengan Dee?
Ternyata ada yang lebih nge-fans sama Dee daripada saya. Waktu itu, dia masih menjadi calon pacar saya. Orangnya melankolis perfeksionis, jarang nge-fans sama seseorang, apalagi artis. Serta merta saya cemburu. Dia mengagumi Dee yang berani menerbitkan buku pada usia sangat muda waktu itu (usianya 24). Waktu itu tahun 2000, usia saya 20 tahun. Kami termasuk dalam panitia salah satu diskusi Dee yang digelar di Jogja. Kami juga mengikuti diskusi Dee di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) di jalan Sagan. Di sana, Dee memberi bonus menyanyikan lagu Out of Shell diiringi dentingan piano. Suaranya menggetarkan hati orang-orang, saya, dan calon pacar saya itu. Saya semakin terbakar cemburu dan dalam hati saya berjanji akan menerbitkan buku lima tahun lagi (saya tahu diri saya tak mungkin menyanyi).
Tuhan Maha Mengabulkan, buku pertama saya terbit saat usia saya 25.
Kali kedua saya bertemu Dee sewaktu dia mempromosikan buku Filosofi Kopi di Malang. Saya menjumpainya di salah satu stasiun radio di Malang. Dee membawa serta Keenan dalam gendongannya. Kami berbincang sembari dia menyusui Keenan. Saya bawa semua koleksi buku Dee:Supernova, Petir, Akar dan Filosofi Kopi. Saya mintakan tanda tangan. Dee histeris ketika tahu saya menyimpan Supernova edisi hemat. "Ini sejarah," katanya.
Ketiga kalinya, saya 'memburu' Dee di Sydney ketika dia menghadiri diskusi penulis Indonesia di NSW writer centre, bersama Richard Oh. Dee datang bersama Marcell yang 'sembunyi' di ruang belakang. Sayangnya, saya bukan tipe yang berani sok kenal dengan seleb, dan -sayangnya- handphone saya tidak bisa untuk memotret.
Cerita saya tentang Dee berlanjut kemarin ketika saya berulang tahun. Nino memberi saya hadiah buku RECTO VERSO, lengkap dengan CD nya. Saya tahu saya akan memperoleh buku, karena itu memang tradisi ultah kami, tapi saya tak menyangka Nino memilih buku Dee untuk saya, mengingat buku ini tidak murah dan 'harus' dibeli dengan CD nya kalau ingin menikmati sensasinya dengan sempurna.
Hadiah ulang tahun yang indah, yang juga melayangkan ingatan saya pada sembilan tahun lalu, ketika dia masih menjadi calon pacar saya.
A.K.
ps: kapan ya saya bisa 'duduk semeja' dengan Dee?
Comments
InsyaAllah, you'll, Mba, mengingat Mba lebih muda dari Dee saat ini, hehehe...
nggak sabar menunggu doa Ima terkabul.
saya di sydney nemenin suami ambil phD, sekitar 3 tahun.