Perbincangan Sabtu Malam
Sabtu kemaren, Nino meminjami aku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie (dia pinjem dari Tante Ria). Whoa, kebeneran banget. Aku lagi gak punya bacaan (setelah selesai membaca Harpot, bacaanku cuma Kompas, Reader Digest dan majalah wanita ‘enggak penting’).
Membaca diary Gie membawaku membuat my own film about him. Bukan ngebayangin Nico di film-nya Riri. Aku bisa menangkap jiwa Gie dari tulisan2nya, kegelisahannya, kesendiriannya dan semangatnya. Hem, tentang buku ini diterusin ntar aja, di posting berikutnya, kalok aku udah selesai bacanya.
Karena baca Gie, aku jadi punya bahan diskusi dengan Nino. Malam minggu itu kami menghabiskan malam di de Juice bar Matos, jaga stand. Nino sendiri sudah baca CSD Gie sejak dia SMA (bayangin aja, waktu aku SMA, bacaanku cuma HAI). Dia juga sudah baca diary-nya Ahmad Wahib, sejak dia SMA. Ahmad Wahib itu seangkatan Hok Gie juga. Dia mahasiswa angkatan 70-an gitu, punya pemikiran kritis dan mati muda (dengan cara yang konyol: ditabrak pengendara motor yang ngebut). Persamaan Ahmad Wahib dengan Gie: sama-sama kritis, keras, moralis, dan mati muda. Perbedaannya: Gie berada di tataran sekuler, sedangkan Wahib lebih religius(dia memandang dirinya Muslim, tetapi dengan cara yang berbeda).
Nino mengidentifikasi Gie dan Wahib ke dalam dirinya sendiri. Nino sendiri memang seorang yang moralis, keras, dan tidak tahan melihat ketidakadilan. And he is damn smart. Just like the two of them. Bedanya, Nino tidak menulis diary (menulis seh, cuman enggak rajin), dan enggak mati muda (GOD, NO! JANGAN SAMPAI!!!). Nino bilang, mungkin kalok dia hidup di zaman itu, dia akan menjadi seperti Gie, yang selalu gelisah untuk berjuang di tataran kemanusiaan.
Sambil menjilati es krim, aku bilangke Nino,"Mas, Gie itu nggak percaya Tuhan loh…" Nino malah jadi kepikiran sama satu-satunya pertanyaan dia yang belum pernah bisa dijawab dari buku manapun yang pernah ia baca. "Kalau agama itu benar, bukankah kita semua menjadi pesimis ketika berjuang untuk membuat kehidupan dan masyarakat menjadi lebih baik? Karena toh Tuhan akan mengakhirinya dengan suatu kehancuran-yang berarti, yang jahat yang akan menang (dengan catatan kalok memang agama itu benar)?" Whoa, pertanyaan yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dan diskusinya jadi panjang. Menurut Nino, di dunia ini ada 3 macam manusia moralis:
1. Yang percaya agama (dan karenanya berbuat kebaikan), tapi naif(tidak memikirkan pertanyaan2 seperti itu)
2. Yang percaya agama dan egois (berbuat kebaikan untuk mendapat pahala untuk dirinya sendiri, berharap imbalan, suatu saat Tuhan akan menolongnya di alam lain-kalok memang benar2 ada)
3. Yang tidak percaya agama dan berbuat kebaikan tanpa pamrih apapun (mungkin seperti Gie itu)
"Terus, kamu termasuk golongan yang mana? (maksudku kita berdua). Kita toh berbuat kebaikan tanpa menginginkan pamrih (hanya ingin berbuat baik), tapi kita juga percaya sama agama." "Hehehe," Nino tertawa. "Kita termasuk golongan keempat, yang percaya agama, pernah memikirkan pertanyaan2 itu, tapi menafikan atau memungkirinya."
Diskusinya masih panjang banget. Kami berdebat, dengan aku di sisi optimis, melawan dia di sisi pesimis yang mempertanyakan makna hidup sebenarnya. Ah, kami memang berbeda. Tapi malam itu, aku kembali melihat Nino yang pertama kali kucintai dulu, yang penuh semangat, meledak-ledak dan selalu mempertanyakan maksud segala sesuatu. Sudah lama kami tidak berdiskusi hal-hal semacam ini. Aku rindu membicarakan selain kepenatannya di kantor, atau sisa uang rumah tangga untuk beli buku, atau tokoh-tokoh khayalan di novelku. Aku rindu berdiskusi dengannya, tanpa diganggu Nindipong yang minta dibacakan cerita. Aku ingin mengalami lagi malam-malam seperti itu, ketika kami membicarakan krisis energi dan kebiadaban Amerika sambil berbagi jilatan es krim cone Mc Donald.
A.K.
Membaca diary Gie membawaku membuat my own film about him. Bukan ngebayangin Nico di film-nya Riri. Aku bisa menangkap jiwa Gie dari tulisan2nya, kegelisahannya, kesendiriannya dan semangatnya. Hem, tentang buku ini diterusin ntar aja, di posting berikutnya, kalok aku udah selesai bacanya.
Karena baca Gie, aku jadi punya bahan diskusi dengan Nino. Malam minggu itu kami menghabiskan malam di de Juice bar Matos, jaga stand. Nino sendiri sudah baca CSD Gie sejak dia SMA (bayangin aja, waktu aku SMA, bacaanku cuma HAI). Dia juga sudah baca diary-nya Ahmad Wahib, sejak dia SMA. Ahmad Wahib itu seangkatan Hok Gie juga. Dia mahasiswa angkatan 70-an gitu, punya pemikiran kritis dan mati muda (dengan cara yang konyol: ditabrak pengendara motor yang ngebut). Persamaan Ahmad Wahib dengan Gie: sama-sama kritis, keras, moralis, dan mati muda. Perbedaannya: Gie berada di tataran sekuler, sedangkan Wahib lebih religius(dia memandang dirinya Muslim, tetapi dengan cara yang berbeda).
Nino mengidentifikasi Gie dan Wahib ke dalam dirinya sendiri. Nino sendiri memang seorang yang moralis, keras, dan tidak tahan melihat ketidakadilan. And he is damn smart. Just like the two of them. Bedanya, Nino tidak menulis diary (menulis seh, cuman enggak rajin), dan enggak mati muda (GOD, NO! JANGAN SAMPAI!!!). Nino bilang, mungkin kalok dia hidup di zaman itu, dia akan menjadi seperti Gie, yang selalu gelisah untuk berjuang di tataran kemanusiaan.
Sambil menjilati es krim, aku bilangke Nino,"Mas, Gie itu nggak percaya Tuhan loh…" Nino malah jadi kepikiran sama satu-satunya pertanyaan dia yang belum pernah bisa dijawab dari buku manapun yang pernah ia baca. "Kalau agama itu benar, bukankah kita semua menjadi pesimis ketika berjuang untuk membuat kehidupan dan masyarakat menjadi lebih baik? Karena toh Tuhan akan mengakhirinya dengan suatu kehancuran-yang berarti, yang jahat yang akan menang (dengan catatan kalok memang agama itu benar)?" Whoa, pertanyaan yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dan diskusinya jadi panjang. Menurut Nino, di dunia ini ada 3 macam manusia moralis:
1. Yang percaya agama (dan karenanya berbuat kebaikan), tapi naif(tidak memikirkan pertanyaan2 seperti itu)
2. Yang percaya agama dan egois (berbuat kebaikan untuk mendapat pahala untuk dirinya sendiri, berharap imbalan, suatu saat Tuhan akan menolongnya di alam lain-kalok memang benar2 ada)
3. Yang tidak percaya agama dan berbuat kebaikan tanpa pamrih apapun (mungkin seperti Gie itu)
"Terus, kamu termasuk golongan yang mana? (maksudku kita berdua). Kita toh berbuat kebaikan tanpa menginginkan pamrih (hanya ingin berbuat baik), tapi kita juga percaya sama agama." "Hehehe," Nino tertawa. "Kita termasuk golongan keempat, yang percaya agama, pernah memikirkan pertanyaan2 itu, tapi menafikan atau memungkirinya."
Diskusinya masih panjang banget. Kami berdebat, dengan aku di sisi optimis, melawan dia di sisi pesimis yang mempertanyakan makna hidup sebenarnya. Ah, kami memang berbeda. Tapi malam itu, aku kembali melihat Nino yang pertama kali kucintai dulu, yang penuh semangat, meledak-ledak dan selalu mempertanyakan maksud segala sesuatu. Sudah lama kami tidak berdiskusi hal-hal semacam ini. Aku rindu membicarakan selain kepenatannya di kantor, atau sisa uang rumah tangga untuk beli buku, atau tokoh-tokoh khayalan di novelku. Aku rindu berdiskusi dengannya, tanpa diganggu Nindipong yang minta dibacakan cerita. Aku ingin mengalami lagi malam-malam seperti itu, ketika kami membicarakan krisis energi dan kebiadaban Amerika sambil berbagi jilatan es krim cone Mc Donald.
A.K.
Comments