A Lesson From My Mom
Gak tahu kenapa, tiba-tiba inget mama.
Mama-ku tuh, a great person ever. Orang paling tangguh sedunia yang aku kenal. Mamaku lahir tahun 1955. Ayahnya meninggal ketika dia umur 5 tahun (jadi aku nggak pernah kenal ama kakek-ku). Dia hanya sekolah sampai kelas dua SD. Abis itu dia diasuh banyak orang dan berganti-ganti kerja kasar: mencuci piring di warung nasi, mengangkut pupuk di gunung, dll.
Menginjak remaja, Mama kerja menjadi pelayan di sebuah toko kain di Muntilan. Majikannya orang Cina yang baik hati. My smart Mum, di samping bekerja, juga berusaha ‘mencuri’ ilmu dagang dari sang majikan. Mama mengumpulkan dan menabung gajinya dalam bentuk perhiasan emas.
Di toko itu juga, Mama bertemu dengan Ayah, seorang penjahit. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk mengontrak sepetak kios dan memulai usaha jahit sendiri (modalnya dari tabungan perhiasan Mama).
Karena nggak bisa jahit, Mama memutuskan untuk dagang (ya di kios jahit itu). Pertamanya Mama jualan barang-barang rumah tangga kayak beras, minyak, mie, dll. Tapi akhirnya bangkrut, hik, hik. Waktu itu daerah Salam (dekat tugu perbatasan Jogja-Magelang, tahu?) masih sepi banget. Bahkan listrik belum masuk.
Kemudian Mama memutuskan untuk berjualan alat-alat jahit kayak benang, kancing, jarum, dll. Kalau nggak laku kan bisa dipake sendiri ama Ayah? (he he, pinter juga dia!).
Sementara itu, aku lahir (tahunnya? rahasia!). Oh,ya, sebelumnya, kakakku perempuan meninggal dalam usia 7 bulan. Jadi sebenarnya aku bukan anak sulung (but aku belom pernah lihat kakakku, hanya dari foto).
Masa kecilku, yah, bisa dibilang hepi2 aja, meskipun kami tinggal berdesak-desakan di kios sempit. Kios kami dibagi dua, depan untuk kios jahit dan warung Mama, belakang jadi tempat tidur, tempat segala sesuatu, dan dapur. Aku, sampai SMP, kalau malam tidur di bawah, di antara etalase dan tumpukan jahitan. Terus my little sister, Dila, nongol di muka bumi ini. Saat itu usiaku delapan tahun. Oh,iya, kami sempat kehilangan dua orang adikku, satu, laki-laki, meninggal saat lahir, satu lagi, perempuan, meninggal di kandungan (nggak bisa kubayangkan bagaimana Mum melewati semua ini).
Kami berdua dididik menjadi orang yang mandiri. Aku aja daftar SD sampai kuliah sendiri. Cuma daftar TK yang diantar Mama. Kalau Dila, aku yang ngurusin. Trus, Mama juga mengajariku segala macam ketrampilan menjaga toko, melayani pembeli, mengoperasikan mesin obras, membuat kancing bungkus, dll. Waktu itu aku sebel banget kalau disuruh jaga toko. Huh! Pengennya kan maen-maen…
Yang bikin sebel lagi, karena kami keluarga miskin, kami nggak punya tivi, kulkas, telpon, dan barang2 mewah (sebenarnya sih barang biasa) lainnya. Padahal aku tahu (waktu itu) kalau Mama sebenarnya mampu beli barang2 itu, tapi dia bilang lagi nggak punya uang. Aku ingat, sepatuku untuk sekolah juga selalu pakai Warrior (tahu nggak? sepatu tali warna hitam-puith yang paling murah), sampai aku SMP. Tas sekolahku baru ganti setelah umurnya tiga tahun. Hik, hik…
Ternyata (aku baru menyadarinya sekarang), waktu itu Mama sedang menabung untuk membeli tanah dan kios (yang waktu itu masih ngontrak). Ketika saatnya tiba, dia langsung bisa membeli tanah n kios itu, cash (nggak pake nyicil or KPR). Trus Mama bangun rumah. Terus kehidupan kami mulai membaik…
Kami membeli TV saat RCTI mulai tayang nasional. Kami punya kulkas dan telpon pas aku kelas tiga SMU. Dan aku bisa kuliah di UGM (waktu itu UGM masih murah, Man!).
Aku baru tahu setelah membaca buku2 Kiyosaki. Ternyata Mamaku yang nggak lulus SD sudah ngerti tentang prinsip Aset dan Liabilitas.
1. Mama menabung gajinya saat jadi pelayan toko untuk suatu saat bisa dijadikan modal.
2. Mama memilih menunda membeli barang2 mewah agar bisa menabung untuk membeli tanah.
3. Meskipun hidup hemat, Mama selalu membelikan aku segala macam kebutuhan untuk sekolah, semua buku pelajaran dia belikan (bukannya membelikan sepatu dan tas).
Tahun ini, Mama dan Ayahku yang nggak lulus SD itu barusan naik haji, dengan uang hasil keringat mereka sendiri. Aku jadi bertanya-tanya, apa jadinya kalau dulu:
1. Mama nggak keluar dari pekerjaannya dan tetap jadi pelayan toko?
2. Mama nggak menabung?
3. Mama tergoda untuk membeli televisi, kulkas, pasang telpon, kayak tetangga-tetangganya?
4. Mama nggak beliin aku buku, tapi beliin sepatu dan tas?
Hem, mungkin Mama tetap jadi pelayan toko (seperti teman seangkatannya yang masih jadi pelayan toko seumur hidupnya). Mungkin aku nggak bisa kuliah. Mungkin keluarga kami tetap miskin.
Mengingat semua ini, aku jadi sangat berterima kasih pada Mama, yang memberiku suatu pelajaran berharga (yang baru kusadari setelah aku dewasa). Aku jadi punya keahlian menjual, berdagang dan berhubungan dengan orang lain dari pengalamanku menjaga toko. Aku jadi sarjana karena usaha Mama.
Dan aku ingin membaginya untuk kalian semua, sebuah pelajaran dari Mama.
(mestinya Mama dapat penghargaan Taft Woman of the year!).
A.K.
Mama-ku tuh, a great person ever. Orang paling tangguh sedunia yang aku kenal. Mamaku lahir tahun 1955. Ayahnya meninggal ketika dia umur 5 tahun (jadi aku nggak pernah kenal ama kakek-ku). Dia hanya sekolah sampai kelas dua SD. Abis itu dia diasuh banyak orang dan berganti-ganti kerja kasar: mencuci piring di warung nasi, mengangkut pupuk di gunung, dll.
Menginjak remaja, Mama kerja menjadi pelayan di sebuah toko kain di Muntilan. Majikannya orang Cina yang baik hati. My smart Mum, di samping bekerja, juga berusaha ‘mencuri’ ilmu dagang dari sang majikan. Mama mengumpulkan dan menabung gajinya dalam bentuk perhiasan emas.
Di toko itu juga, Mama bertemu dengan Ayah, seorang penjahit. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk mengontrak sepetak kios dan memulai usaha jahit sendiri (modalnya dari tabungan perhiasan Mama).
Karena nggak bisa jahit, Mama memutuskan untuk dagang (ya di kios jahit itu). Pertamanya Mama jualan barang-barang rumah tangga kayak beras, minyak, mie, dll. Tapi akhirnya bangkrut, hik, hik. Waktu itu daerah Salam (dekat tugu perbatasan Jogja-Magelang, tahu?) masih sepi banget. Bahkan listrik belum masuk.
Kemudian Mama memutuskan untuk berjualan alat-alat jahit kayak benang, kancing, jarum, dll. Kalau nggak laku kan bisa dipake sendiri ama Ayah? (he he, pinter juga dia!).
Sementara itu, aku lahir (tahunnya? rahasia!). Oh,ya, sebelumnya, kakakku perempuan meninggal dalam usia 7 bulan. Jadi sebenarnya aku bukan anak sulung (but aku belom pernah lihat kakakku, hanya dari foto).
Masa kecilku, yah, bisa dibilang hepi2 aja, meskipun kami tinggal berdesak-desakan di kios sempit. Kios kami dibagi dua, depan untuk kios jahit dan warung Mama, belakang jadi tempat tidur, tempat segala sesuatu, dan dapur. Aku, sampai SMP, kalau malam tidur di bawah, di antara etalase dan tumpukan jahitan. Terus my little sister, Dila, nongol di muka bumi ini. Saat itu usiaku delapan tahun. Oh,iya, kami sempat kehilangan dua orang adikku, satu, laki-laki, meninggal saat lahir, satu lagi, perempuan, meninggal di kandungan (nggak bisa kubayangkan bagaimana Mum melewati semua ini).
Kami berdua dididik menjadi orang yang mandiri. Aku aja daftar SD sampai kuliah sendiri. Cuma daftar TK yang diantar Mama. Kalau Dila, aku yang ngurusin. Trus, Mama juga mengajariku segala macam ketrampilan menjaga toko, melayani pembeli, mengoperasikan mesin obras, membuat kancing bungkus, dll. Waktu itu aku sebel banget kalau disuruh jaga toko. Huh! Pengennya kan maen-maen…
Yang bikin sebel lagi, karena kami keluarga miskin, kami nggak punya tivi, kulkas, telpon, dan barang2 mewah (sebenarnya sih barang biasa) lainnya. Padahal aku tahu (waktu itu) kalau Mama sebenarnya mampu beli barang2 itu, tapi dia bilang lagi nggak punya uang. Aku ingat, sepatuku untuk sekolah juga selalu pakai Warrior (tahu nggak? sepatu tali warna hitam-puith yang paling murah), sampai aku SMP. Tas sekolahku baru ganti setelah umurnya tiga tahun. Hik, hik…
Ternyata (aku baru menyadarinya sekarang), waktu itu Mama sedang menabung untuk membeli tanah dan kios (yang waktu itu masih ngontrak). Ketika saatnya tiba, dia langsung bisa membeli tanah n kios itu, cash (nggak pake nyicil or KPR). Trus Mama bangun rumah. Terus kehidupan kami mulai membaik…
Kami membeli TV saat RCTI mulai tayang nasional. Kami punya kulkas dan telpon pas aku kelas tiga SMU. Dan aku bisa kuliah di UGM (waktu itu UGM masih murah, Man!).
Aku baru tahu setelah membaca buku2 Kiyosaki. Ternyata Mamaku yang nggak lulus SD sudah ngerti tentang prinsip Aset dan Liabilitas.
1. Mama menabung gajinya saat jadi pelayan toko untuk suatu saat bisa dijadikan modal.
2. Mama memilih menunda membeli barang2 mewah agar bisa menabung untuk membeli tanah.
3. Meskipun hidup hemat, Mama selalu membelikan aku segala macam kebutuhan untuk sekolah, semua buku pelajaran dia belikan (bukannya membelikan sepatu dan tas).
Tahun ini, Mama dan Ayahku yang nggak lulus SD itu barusan naik haji, dengan uang hasil keringat mereka sendiri. Aku jadi bertanya-tanya, apa jadinya kalau dulu:
1. Mama nggak keluar dari pekerjaannya dan tetap jadi pelayan toko?
2. Mama nggak menabung?
3. Mama tergoda untuk membeli televisi, kulkas, pasang telpon, kayak tetangga-tetangganya?
4. Mama nggak beliin aku buku, tapi beliin sepatu dan tas?
Hem, mungkin Mama tetap jadi pelayan toko (seperti teman seangkatannya yang masih jadi pelayan toko seumur hidupnya). Mungkin aku nggak bisa kuliah. Mungkin keluarga kami tetap miskin.
Mengingat semua ini, aku jadi sangat berterima kasih pada Mama, yang memberiku suatu pelajaran berharga (yang baru kusadari setelah aku dewasa). Aku jadi punya keahlian menjual, berdagang dan berhubungan dengan orang lain dari pengalamanku menjaga toko. Aku jadi sarjana karena usaha Mama.
Dan aku ingin membaginya untuk kalian semua, sebuah pelajaran dari Mama.
(mestinya Mama dapat penghargaan Taft Woman of the year!).
A.K.
Comments