Menonton Nicholas GIE Saputra
Aku bukan pengamat, apalagi kritikus film. Jadi, bacalah tulisan ini sebagai komentar dari orang biasa yang baru saja menonton film bagus. Kalau bukan film GIE, aku nggak akan bela-belain nonton sendirian tanpa teman (sejauh mata memandang, pada pacaran semua euy!) di bioskop yang belum pernah aku masuki pula. Untung harga tiketnya murah, karena hari Senin, dan nggak perlu antri lama. Kesan yang aku tangkap begitu film mulai berputar, sinematografi dan artistik-nya indah dan rapi sekali. Nuansa tahun 60-an terbangun dari rumah-rumah tua, tembok lumutan, menara mesjid, mobil VW yang lalu lalang, sepeda, pedagang kaki lima dengan toples bulatnya, cewek-cewek berkuncir dua. Asli jadul banget. Nggak ada setitik noda selip kelihatan jaman modern-nya (yo wis diedit tho!). Meskipun settingnya cuma itu-itu saja: rumah Gie (kordennya itu loh…), atap yang kelihatan menara mesjidnya, perempatan BATA (aha!), sekolah dan pecinan, tembok (ratapan?) sudah cukup mewakili jadul. Oh, iya, angkotnya bo